Jakarta, Aktual.com – Bagi orang awam, kata ‘hipertensi’ pastilah diartikan sebuah penyakit tekanan darah tinggi. Ketika terserang penyakit ini, kondisi tekanan darah seseorang biasanya berada pada 13/80 mmHg.
Hal ini pun dinilai membahayakan karena hipertensi berpotensi menimbulkan penyakit lainnya, seperti gagal ginjal atau stroke.
Namun, apa Anda mengetahui hipertensi paru?
Penyakit ini pun tak kalah berbahayanya dengan penyakit hipertensi.
Meskipun semua jenis penyakit harus dihindari dan dicegah, tetapi penyakit ini juga harus diwaspadai oleh masyarakat lantaran memiliki harga pengobatan yang ‘wah’.
Para penderita hipertensi paru membutuhkan pengobatan seumur hidup untuk memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
“Beberapa dari obat hipertensi paru harganya mahal, sementara penderita itu membutuhkan obat seumur hidup,” kata dokter spesalis jantung dari Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta Prof. Dr. dr. Bambang Budi Siswanto, Sp.JP(K), Fascc, FAPSC, FACC.
Hal ini diungkapkan Bambang dalam diskusi publik Ancaman Penyakit Hipertensi Paru Bagi Perempuan dan Anak Indonesia di Jakarta, Senin (24/9).
Dia mengatakan, seorang pasien hipertensi paru membutuhkan dua butir obat endothelin receptor antagonist dalam sehari.
Harga satu tablet endothelin receptor antagonist adalah Rp300-500 ribu, sehingga dalam sehari penderita mengeluarkan uang sebanyak Rp600 ribu hingga Rp1 juta.
Belum lagi, tambah Bambang, jika penderita harus mengonsumsi kombinasi obat dari beberapa jenis obat hipertensi paru, maka dana yang dikeluarkan akan lebih besar.
“Dengan adanya obat-obat ini kita harap umurnya (penderita hipertensi paru) lebih panjang,” ujar Bambang.
Dia mengatakan dengan konsumsi obat-obatan itu maka diharapkan penderita dapat meningkatkan ketahanan hidupnya.
“Kita berharap (penderita hipertensi paru) bisa panjang umur dan melakukan aktivitas jadi manusia produktif,” katanya.
Antagonis reseptor endotelin (ERA) adalah obat yang memblokir reseptor endotelin.
Sekretaris Yayasan Hipertensi Paru Indonesia, Dhian Deliani mengatakan menderita hipertensi paru sejak 2006 karena penyakit jantung bawaan.
“Penyakit ini memang sangat serius dan harus mendapat perhatian juga dari pemerintah dan semua ‘stakeholders’ (pemangku kepentingan),” ujarnya.
Dhian mengatakan telah bergantung pada obat itu dan harus mengonsumsinya seumur hidup. Jika seorang penderita hipertensi paru tak mengkonsumsi obatnya dalam sehari, kata Dian, tubuh orang tersebut akan langsung drop pada keesokannya, sehingga harus memakai selang oksigen semalaman.
Apa Hipertensi Paru?
Lantas, jenis penyakit apakah hipertensi paru ini?
Dilansir dari alodokter.com, hipertensi paru atau hipertensi pulmonal adalah salah satu jenis tekanan darah tinggi yang spresifik mengenai pembuluh darah arteri di paru-paru dan sisi kanan jantung.
Penyakit ini terjadi ketika arteri kecil pada paru-paru, yang disebut arteriol pulmonal dan pembuluh kapilernya menyempit, tersumbat atau bahkan mengalami kerusakan.
Kondisi demikian akan berdampak pada aliran darah dari sisi kanan jantung yang menuju paru-paru terganggu. Aliran darah pada bagian ini merupakan ‘rute’ dari pengambilan oksigen yang nantinya disebarkan kepada semua organ kita.
Akibatnya, darah menjadi sulit mengalir ke paru-paru dan berujung pada meningkatnya tekanan pada arteri paru-paru.
Hal ini pun membuat bilik kanan jantung harus bekerja ekstra keras untuk memompa darah ke paru-paru. Jika kondisi ini berjalan dalam waktu yang lama, maka akan membuat otot kita melemah dan dapat memicu gagal jantung.
Yang harus diwaspadai dari hipertensi paru adalah tidak terdiagnosisnya penyakit ini sejak tahap awal, melainkan hanya diketahui setelah berselang beberapa lama atau bahkan ketika penyakit ini sudah memasuki tahap lanjut.
Tidak hanya itu, penyakit ini juga dapat dialami pada semua usia.
Kelainan jantung
Meskipun dapat dialami oleh semua umur, penyakit ini biasanya diderita oleh seseorang yang memiliki masalah pada jantung atau paru-paru.
Hal ini pun diamini oleh Bambang. Karenaya, ia pun menghimbau agar masyarakat lebih cepat tanggap dan antisipatif jika memang memiliki kelainan jantung pada tubuhnya.
“Karena kelainan jantung bawaan dideteksi betul bisa dioperasi sebelum menyebabkan hipertensi paru,” jelas Bambang.
Dia mengatakan kelainan jantung bisa dideteksi sejak dalam kandungan. Namun, belum semua rumah sakit apalagi pusat kesehatan masyarakat memiliki alat deteksi dini jantung pada janin dalam kandungan.
Selain itu, anak-anak hingga dewasa juga perlu melakukan pemeriksaan terhadap jantung agar mengetahui kondisi terkini sehingga jika terjadi hipertensi paru dapat langsung dilakukan tindakan seperti konsumsi obat-obatan untuk memperpanjang harapan hidup mereka.
Berdasarkan data yang dihimpun Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI) selama beberapa tahun terakhir, prevalensi hipertensi paru di dunia adalah satu pasien per 10.000 penduduk, artinya diperkirakan terdapat 25 ribu pasien hipertensi paru di Indonesia.
Sebanyak 80% pasien hipertensi paru tinggal di negara-negara berkembang di mana hipertensi paru sering dikaitkan dengan penyakit jantung bawaan, penyakit paru lainnya (seperti penyakit paru obstruktif kronis, PPOK), autoimun, pembekuan darah (emboli), dan sebagainya.
Menurut catatan YHPI, hipertensi paru lebih sering diderita anak-anak hingga usia dewasa pertengahan, juga lebih sering dialami perempuan dengan perbandingan 9:1, dengan rata-rata kelangsungan hidup sampai timbulnya gejala penyakit sekitar 2-3 tahun.
Dokter spesialis jantung Rumah Sakit Umum Dr Sardjito Yogyakarta, dr. Lucia Kris Dinarti SpPD SpJP mengatakan negara maju seperti Jepang telah melakukan screening untuk deteksi dini kelainan jantung sejak 1985 sejak dari kandungan hingga sekolah menengah atas.
Sementara itu, dia mengatakan di Indonesia deteksi dini tidak dilakukan sejak dini.
“Yang sudah terlanjur hipertensi paru bisa dengan mengkonsumsi obat-obatan,” katanya.
Dia mengatakan dari 14 macam obat hipertensi baru di dunia, sementara di Indonesia baru ada satu obat yakni beraprost yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Tapi beraprost ini yang efeknya tidak sebagus slidenafil,” ujarnya.
Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indriani Ginoto mengatakan deteksi dini sangat diperlukan untuk melakukan tindakan pengobatan lebih lanjut. Salah satu penyebab hipertensi paru adalah kelainan jantung bawaan.
Dia mengatakan jika tidak segera mengkonsumsi obat, penderita hipertensi paru bisa bertahan dua sampai tiga tahun.
“Hipertensi paru itu serius karena jika tidak didiagnosa dan mendapat pengobatan baik bisa meninggal sampai dua tahun. Kami bersyukur di Jakarta bisa mengakses obat-obatan lebih mudah,” katanya.
Dia mengatakan banyak penderita hipertensi paru di Indonesia yang menagalami keseulitan men jangkau obat karena akses yang sulit, hanya satu obat yang ditanggung BPJS Kesehatan serta harga yang mahal.
“Dari 500 yang terdaftar di Yayasan Hipertensi Paru Indonesia, sekitar 40-50 persen sudah meninggal karena pengobatannya terbatas,” tuturnya.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan