Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri melakukan penggeledahan di salah satu rumah tersangka teroris di Indramayu, Jawa Barat, Selasa (26/1). Dalam penggeledahan di kedua rumah tersangka teroris AH dan WF, Tim Densus 88 menemukan barang bukti milik tersangka yang diduga terkait dengan bom Thamrin. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/aww/16.

Jakarta, Aktual.com — Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Polisi Tito Karnavian menolak pembubaran Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, yang selama ini serius menangani kasus terorisme di Indonesia.

“Kalau Densus dibubarkan, ya kelompok-kelompok radikal ini nanti tambah bebas. Sekarang saja ditekan masih bebas,” kata Tito kepada wartawan usai dilantik sebagai Kepala BNPT oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (16/3).

Densus 88 Antiteror Polri telah memiliki data lengkap tentang jaringan terorisme di Indonesia, yang tidak dimiliki oleh lembaga lain. Densus 88 Antiteror Polri, kata dia, telah mengikuti jaringan terorisme sejak 2000 sehingga hanya Densus yang paling tahu tentang karakter jaringtan terorisme.

“Kalau dibubarkan, siapa yang kerjakan dan mau ‘start’ dari nol lagi. Ini akan berat.”

Kendati Densus memiliki data lengkap, BNPT tidak hanya bergantung kepada polisi khusus antiteror itu karena BNPT juga memiliki Satgas Bom yang menangani kasus teror juga. Bahkan, Tito juga akan bekerja sama dengan kekuatan antiteror lain dari unsur TNI, sehingga timbul kerja sama antar lembaga dalam menanggulangi teror.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mempertanyakan prosedur standar operasnonal Densus 88 Antiteror dalam penanganan terorisme, terkait tewasnya Siyono yang ditangkap, Rabu (9/3).

“Kasus tewasnya Siyono mengingatkan saya pada kejadian penyiksaan yang dialami lima orang korban salah tangkap di Poso pada 2013 lalu,” kata Nasir Djamil di Jakarta.

Nasir mengingatkan, Densus kerap kali melakukan tindakan penyiksaan sejak tahapan penangkapan. Tindakan penyiksaan yang dilakukan Densus 88 ini, ujar dia, dilakukan dengan menutup mata kepada terduga pelaku teroris, serta memukul bagian tubuh dan kepala dengan senjata.

“Padahal pelaku yang ditangkap belum tentu menjadi tersangka dan bahkan sering terjadi salah tangkap.”

Tindakan itu, ujar dia, sulit diproses secara hukum karena korban tidak melihat langsung siapa yang menyiksa. Dia, sebagai anggota Pansus Revisi UU Terorisme, akan mempertegas pengaturan prosedur penangkapan dan bahkan mengurangi kewenangan Densus 88 dalam penangkapan.

“Densus 88 seringkali melakukan pendekatan penyiksaan kepada terduga teroris.”

Jika ditemukan ada celah Densus 88 melakukan tindakan penyiksaan, kata dia, maka Komisi III akan membatasi ketentuan penangkapan dalam revisi UU Terorisme.

“Saya khawatir, pelaku penyiksaan sulit terungkap karena penyiksaan dilakukan oleh internal Polri, dan kemungkinan sulit mencari saksi di luar polri yang melihat kejadian tersebut.”

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Wisnu