Jakarta, Aktual.com – Kepala Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Edy Nasution didakwa menerima hadiah berupa uang sebesar Rp2,3 miliar. Suap tersebut bersumber dari Presiden Komisaris Lippp Group, Eddy Sindoro.
Penyerahan suapnya melalui salah satu pegawai Lippo Grup bernama Doddy Aryanto Supeno sekitar 2015-2016.
“Didakwa melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan menerima hadiah atau janji,” ujar Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Titto Jaelani saat membacakan surat dakwaan Edy, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/9).
Suap tersebut diberikan agar Edy bisa membantu untuk mengurus perkara hukum yang melibatkan beberapa perusahaan Lippo Grup. Rinciannya, Rp1,5 miliar dalam bentuk Dollar Singapura, 50 ribu Dollar AS dan Rp50 juta.
“Perbuatan terdakwa Edy Nasution merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang diperbaharui kedalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP,” terang Jaksa Titto.
Berikut rincian suap Edy dan peruntukkannya:
1. Uang Rp1,5 miliar terkait eksekusi lahan terhadap PT Jakarta Baru Cosmopolitan.
Pemberian uang miliaran itu untuk menggerakkan Edy agar mengurus perubahan redaksional atau revisi surat jawaban dari PN Jakpus. Perubahan dilakukan demi menolak permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raad Van Justitie Nomor 232 Tahun 1937 pada 12 Juli 1940 atas tanah yang berlokasi di Tangerang.
Selain itu, uang tersebut diberikan agar Edy tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak pemohon eksekusi lanjutan.
Pemberiannya dilakukan setelah Eddy Sindoro menugaskan salah satu anak buahnya, Wresti Kristian Hesti untuk bertemu Edy dan mengurus penundaan eksekusi. Tapi, Edy tidak juga menuruti permintaan itu, sehingga Hesti meminta Eddy untuk membuat memo kepada Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Setelah memo sampai, Nurhadi meminta imbalan Rp3 miliar. Tapi Eddy hanya menyanggupi sejumlah Rp1,5 miliar.
2. Untuk penundaan proses pemanggilan atau ‘aanmaning’ perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco). Suapnya sebesar Rp100 juta.
Berawal dari putusan Pengadilan Arbitrase di Singapura, PT MTP dinyatakan wanprestrasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar 11.100.000 Dollar AS.
Namun, lantaran PT MTP tidak juga melaksanakan kewajibannya, PT Kymco mendaftarkan putusan itu ke PN Jakpus, agar putusan arbitrase dapat dieksekusi di Indonesia. PN Jakpus kemudian melakukan ‘aanmaning’ PT MTP pada 1 September 2015 dan 22 Desember 2015.
Atas pemanggilan itu, Eddy Sindoro kembali menugaskan Hesti untuk mengupayakan penundaan aanmaning. Hesti lalu bertemu Edy di PN Jakpus pada 14 Desember 2015, dan meminta dilakukan penundaan aanmaning.
Namun, Eddy Sindoro dan Rudy Nanggulangi selaku Direktur Utama PT MTP tidak dapat memenuhi panggilan. Eddy Sindoro selanjutnya menugaskan Hesti untuk mengupayakan penundaan pelaksanaan aanmaning, dengan melakukan pendekatan kepada Edy.
Permintaan ini pun disetujui oleh Edy Nasution dengan menunda aanmaning sampai Januari 2016. Tapi ada imbalan yang harus diberikan yakni sebesar Rp100 juta.
Atas persetujuan Eddy Sindoro, Hesti menugaskan Doddy Aryanto Supeno untuk menyerahkan uang Rp100 juta kepada Edy. Penyerahan uang dilakukan pada 17 Desember 2015, di Hotel Acacia, Jakarta Pusat.
Terhadap pengurusan penundaan aanmaning tersebut, Lippo Group melalui Hesti, atas arahan Eddy Sindoro, membuat memo yang ditujukan kepada Nurhadi. Memo ini diberikan lantaran Nurhadi dianggap bisa mempengaruhi PN Jakpus supaya tidak mengeksekusi putusan Pengadilan Arbitrase Singapura.
3. Uang Rp500 juta untuk pengajuan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara niaga PT Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media.
Dimanan, berdasarkan putusan Kasasi MA pada 31 Juli 2013 bahwa PT AAL dinyatakan pailit. Namun, hingga lebih dari 180 hari setelah putusan dibacakan, PT AAL tidak juga mengajukan upaya hukum PK ke MA.
Sesuai Pasal 295 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, batas waktu pengajuan PK adalah 180 hari sejak putusan dibacakan.
Untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang juga sedang berperkara di Hongkong, Eddy Sindoro menugaskan Hesti agar mengupayakan pengajuan PK di MA. Selanjutnya Hesti kembali menemui Edy di PN Jakpus pada Februari 2016.
Edy akhirnya setuju untuk menerima pengajuan PK yang telah lewat batas waktunya. Lagi-lagi dia meminta disediakan uang Rp500 juta kepada Hesti.
Pada medio Februari 2016, PT AAL menunjuk kuasa hukumdi antaranya Dian Anugerah Abunaim dan Agustriady. Penunjukkan kuasa hukum inilah yang kemudian dijadikan alasan bahwa putusan Kasasi belum pernah diterima, karena surat putusan dikirimkan kepada kuasa hukum yang lama.
Alasan tersebut juga jadi alasan Edy untuk menerima kembali pendaftaran PK. Atas pengurusan PK tersebut, Edy menerima uang sebesar 50.000 Dollar AS dari Agustriady.
Kemudian, pada 18 April 2016 Edy kembali menerima uang Rp50 juta dari Lippo Grup, untuk pengurusan sejumlah perkara. Uang ini diserahkan melalui tangan Doddy.
Tapi sayangnya, setelah penerimaan uang ini, Edy langsung diringkus oleh Tim Satgas KPK.
Laporan: M Zhacky Kusumo
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby