Foto udara proyek reklamasi Teluk Jakarta, Sabtu (29/10). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan memberikan rekomendasi pada pemerintah agar izin reklamasi Teluk Jakarta dicabut karena proyek tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Dilanjutkannya pembangunan proyek reklamasi di pantai utara Jakarta merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang justru menciderai hukum. Kebijakan sebelumnya ketika Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli yang menghentikan proyek reklamasi terutama Pulau G telah dianggap positif, karena tidak memperpanjang polemik.

Tapi setelah Menko Kemaritiman dijabat Luhut Binsar Panjaitan malah kembali melanjutkan proyek reklamasi ini. Kebijakan ini dirasa tidak mencerminkan kepastian hukum bagi dunia usaha.

“Jadi, keputusan mencle-mencle, yang semula sudah betul pencabutan izin, tapi sekarang malah diputuskan untuk memberikan izin kembali (pembangunan proyek reklamasi) memperlihatkan bahwa pemerintah Jokowi ini tak punya kepastian hukum. Ini berdampak ke dunia usaha,” cetus Direktur Center for Budget Analysis (CBA), UChok Sky Khadafi di Jakarta, Senin (31/10).

Dengan begitu, kepastian hukum sepertinya hanya milik pebgembang PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN). APLN ini, kata Uchok, yang ikut mempermainkan hukum dengan kemauan keuangannya. Sehingga mereka mempermainkan hukum dengan sesuka hati mereka.

“Jadi bisa dilihat, bahwa kepastian hukum itu hanya untuk perusahaan pengembang Agung Podomoro. Karena mereka yang membuat duit dan mengalirkan ke kelompok-kelompok yang berkepentingan,” tutur Uchok.

Padahal emiten properti ini, kata Uchok, di mata publik kinerjanya sudah negatif. Apakagi setelah direktur utamanya yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat suap-menyuap.

“Seharusnya, kalau ada perusahaan yang dirutnya sudah ditangkap KPK, secara integritas dan kejujuran sudah tidak benar. Sudah negatif tata etikanya,” cetus Uchok.

“Dan mestinya semua perizinan apapun yang diminta perusahaan tersebut harus ditolak pemerintah. Ini malah dilanjutkan. Jadi aneh,” keluhnya.

Uchok sangat sepakat dengan kebijakan mantan Menko Rizal Ramli dulu yang mencabut izin pembangunan proyek reklamasi pulau G. Karema alasannya sangat dibenarkan.

Dengan adanya proyek itu, kata dia, akan ada pelanggaran berat karena di bawah pulau tersebut banyak terdapat jaringan kabel listrik milik PT PLN (Persero). Bahkan, keberadaan pulau tersebut juga menganggu lalu lintas kapal nelayan, menciptakan pendangkalan laut, dan berkurangnya jumlah ikan tangkapan nelayan.

“Dan sekarang setelah Menko Maritim dipegang oleh Luhut Binsar Panjaitan, malah memutuskan memberikan izin untuk melanjutkan kembali kegiatan reklamasi di teluk Jakarta itu. Aneh,” jelasnya.

Uchok menduga, ada praktik kongkalikong antara pengusaha dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dipimpin Ahok dengan pihak pengembang yang memiliki dana besar.

“Jangan-jangan ada dana-dana panas di belakang keputusan dilanjutkannya kembali proyek reklamasi ini. Apalagi memang saat ini DKI mau ada Pilkada dan Ahok kembali menjadi calonnya,” cetusnya.

Rumor beredar, dari pembangunan Pulau G, Ahok mendulang banyak untung. Diduga Ahok menangguk Rp12 triliun dari proyek tersebut yang berasal dari kucuran kas pengembang. Dan oleh APLN, Pulau G itu kabarnya sudah dijual ke lembaga keuangan di Hongkong dengan nilai yang fantastis mencapai Rp40 triliun.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka