Jakarta, aktual.com – Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah dengan mendongkrak jumlah investor yang menanamkan modalnya dan berusaha. Melalui dana dari para investor ini, lapangan pekerjaan akan bertambah dan daya beli masyarakat akan meningkat.
Namun agar Indonesia menjadi negara yang menarik untuk para investor memperluas usahanya adalah adanya kepastian hukum. Karena, ketidakpastian hukum dalam berbisnis di Indonesia membuat sejumlah investor sulit dan harus kerja ekstra. Sudah barang tentu kepastian hukum harus segera dipenuhi pemerintah supaya pertumbuhan usaha dapat berjalan sesuai harapan.
Pengamat ekonomi dari Indonesia Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menganggap, rendahnya kepastian hukum di Indonesia membuat realisasi investasi asing jauh dari harapan.
Menurutnya, kepastian hukum merupakan hambatan paling besar yang dirasakan oleh investor. Terutama pada proses perizinan dan implementasi aturan hukum. Termasuk juga prosedur antara pemerintah pusat dan daerah masih belum sinergis.
Sekalipun, kata dia, Presiden Joko Widodo telah bersusah payah berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui “jalur” investasi ini. Terlebih, lanjut dia, untuk hal itu Jokowi sampai rela menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang peningkatan daya saing industri, kemandirian industri, dan kepastian berusaha.
Namun, proses dalam menyelesaikan permasalahan itu panjang yang pada akhirnya investor marasa dirugikan. “Proses penyelesaian sengketa jadi panjang dan merugikan investor. Sebenarnya idealnya sifat pengawasan untuk preventif,” ujar Bhima ketika dihubungi wartawan.
Selanjutnya menurut Bhima, dalam kasus hukum yang dihadapi PT Karya Citra Nusantara (KCN) yang sudah menginvestasikan triliunan rupiah pada pengembangan Pelabuhan Marunda, membuktikan bahwa investasi di Indonesia tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi investor.
“Perbaikan kepastian hukum mendesak dilakukan salah satu caranya adalah reformasi internal birokrasi, sinergi pusat-daerah, pengawasan yang ketat,” tutup Bhima.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin