Dalam demokrasi beradab, hukum berenang di lautan etika. Defisit institusi dan undang-undang selalu bisa ditutupi oleh kecukupan moralitas. Dalam demokrasi lemah adab, hukum berenang di lautan tuna-etika. Surplus undang-undang tak membuat tertib hukum, malah makin membuka celah bagi kejahatan manipulatif.
Berbagai ekspresi ketidakpatutan etis di jagad politik mengindikasikan meluasnya fenomena “rabun moral”. Demokrasi tak kunjung bisa dikonsolidasikan karena Pancasila tak pernah sungguh-sungguh dijadikan titik tumpu; pranata politik kerap dibongkar pasang; konstitusi dan hukum ditekuk-tekuk sesuai selera kepentingan.
Gerak politik kita ke masa depan sekadar mengikuti irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera. Setiap saat, bahtera Republik bisa dicegat dan dibelokkan arahnya. Diskusi publik dilumpuhkan fiksi politik, perwakilan bermutu disisihkan keterpilihan semu, pemerintahan hukum dilumpuhkan personalisasi kekuasaan.
Untuk mengeluarkan Republik dari situasi limbung, kita perlu memulihkan kejelasan dan keajegan visi, yang memberi prinsip dan haluan direktif berjangka panjang, tanpa kehilangan daya fleksibilitas untuk dapat merespon berbagai ancaman dan perkembangan yang terus berubah.
Kepemimpinan memainkan peran penting. Untuk negara seluas, sebesar, semajemuk Indonesia diperlukan pemimpin negarawan yang memiliki keluasan mentalitas dan tanggung jawab yang lebih besar, melampaui kepentingannya sendiri.
Untuk itu, modal terpenting kepemimpinan adalah “Modal Moral” (Moral Capital). Moral di sini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dlm memperjuangkan nilai, keyakinan, tujuan, amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan hanya potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakan roda politik.
Agar bisa melayani kepentingan umum, seorang pemimpin harus bisa ber-“puasa” dari godaan nafsu kuasa, harta, hormat, dan popularitas, yang tak ada habisnya hingga masuk liang lahat.
Bagi pemimpin sejati, kebahagiaan tertinggi terletak dalam kemampuan merengkuh makna terluhur kekuasaan sebagai amanah Tuhan dan rakyat demi kebajikan dan kebahagiaan hidup bersama.
Makrifat Pagi, Yudi Latif
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin