Jakarta, Aktual.com — Dibatalkannya izin pelaksanaan reklamasi Pulau G (Pluit City) oleh PT Muara Wisesa Samudra sebagaimana putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, bisa menjadi pintu masuk Presiden untuk memberhentikan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Sebab, salah satu pertimbangan hakim saat memutus gugatan yang diajukan nelayan dan sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta itu adalah tidak dicantumkannya UU No. 27/2007 sebagaimana diubah melalui UU No. 1/2014.

“Pertimbangan itu menunjukkan terjadinya pelanggaran tata urut konstitusi, (sebagaimana diatur) Pasal 7 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujar pengamat hukum tata negara Masnur Marzuki kepada Aktual.com, Kamis (2/6).

Menurut direktur Jakarta Monitoring Network (JMN) ini, pelanggaran tersebut cukup fatal. Pasalnya, seorang kepala daerah sudah sepatutnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan dalam membuat kebijakan.

Selain menabrak konstitusi, Kepgub No. 2238/2014 yang dibatalkan tersebut juga mencerminkan adanya penyalahgunaan kewenangan sesuai UU No. 20/2001 terkait Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasalnya, UU No. 1/2014 secara tegas menyatakan pesisir ibukota menjadi kewenangan pemerintah pusat, bukan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI. Terlebih, Ahok telah menjanjikan kepada swasta untuk memberikan izin pengelolaan pulau buatan saat membuat ‘perjanjian preman’, 18 Maret dan 4 April 2014.

“Pertanyaannya, berani tidak sekarang Pak Jokowi menjalankan tugasnya sesuai UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah?” tanya akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

“Apalagi, bukti-buktinya sudah terang, putusan pengadilan. Tinggal panggil Ahok, konfirmasi dan disampaikan ke MA (Mahkamah Agung) untuk mendapatkan putusan pelanggaran,” imbuh Masnur.

Pada Pasal 81 ayat (1) UU No. 23/2014 dijelaskan, bahwasanya pemerintah pusat dapat memberhentikan kepala daerah, bila DPRD tidak melaksanakan haknya.

Sebelum memberhentikan kepala daerah, Pasal 81 ayat (2) menerangkan, pemerintah pusat harus memeriksa yang bersangkutan untuk menemukan bukti-bukti pelanggaran. Ayat selanjutnya tertulis, hasil pemeriksaan disampaikan ke MA untuk mendapatkan keputusan terkait pelanggaran yang dilakukan.

Dan Pasal 81 ayat (4) berbunyi, apabila MA memutuskan kepala daaerah terbukti melakukan pelanggaran, maka pemerintah pusat dapat memberhentikan yang bersangkutan.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan