Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Indonesia akhirnya menantang balik perusahan PT Freeport Indonesia untuk bersengketa di Mahkamah Arbitrase, setelah perusahaan asal Amerika Serikat itu berulang kali mengancam untuk menuntut ke Arbitrase dan menggunakan eksploitasi pemecatan karyawan untuk menekan pemerintah.
Menteri ESDM Ignasius Jonan menuturkan wacana membawa PTFI ke arbitrase merupakan langkah hukum yang harus dihargai dan menjadi hak siapa pun. Kendati pemerintah tidak mengharapkan hal tersebut. Bagi pemerintah, melihat apa pun hasil keputusan nantinya, akan menimbulkan dampak yang kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
“Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah. Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata,” kata Jonan dalam keterangan tertulis, Minggu (19/2)
Sejauh ini papar Jonan, Pemerintah terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia baik investasi asing maupun investasi dalam negeri tanpa terkecuali.
Dalam hal pertambangan mineral logam, Pemerinah tetap berpegangan pada UU Mineral dan Batubara No 4/2009 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 sebagai revisi dan tindak lanjut semua peraturan yang telah terbit sebelumnya.
Dengan mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah tetap menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. dan masih sah berlaku.
Atas dasar itu semua pemegang Kontrak Karya dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan tidak wajib mengubah perjanjian menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus, sepanjang pemegang Kontrak Karya tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (pasal 169 dan pasal 170).
Dengan fakta bahwa pemegang Kontrak Kary belum melakuian hilirisasi sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, maka Pemerintah menawarkan kepada semua pemegang Kontrak Karya yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter) untuk mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK.
Dengan demikian sesuai Pasal 102-103 UU No 4/2009, mereka akan tetap mendapat izin melakukan ekspor konsentrat dalam jangka waktu 5 tahun sejak PP No 1/2017 diterbitkan. Namun mereka tetap diwajibkan membangun smelter dalam jangka waltu 5 tahun. Progres pembangunan smelter akan diverifkasi oleh verifikator independen setiap 6 bulan. Jika progres tidak mencapai minimal 90 persen dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut.
Fakta yang terjadi saat ini adalah, Lanjut Jonan PT Freeport Indonesia menolak perubahan dari KK menjadi IUPK. Sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan Kementerian ESDM, Kemterian Keuangan, dan PTFI, Pemerintah telah memberikan hak yang sama di dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan. [Dadangsah Dapunta]
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu