Denpasar, aktual.com – Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terdiri dari ProFauna Indonesia, Yayasan Penyu Indonesia (YPI), Turtle Foundation dan Too Rare to Wear meluncurkan kampanye bertajuk “Keren Tanpa Sisik” untuk mengurangi perdagangan produk mengandung penyu sisik.
Juru Kampanye “Keren Tanpa Sisik” Muhammad Jayuli di Denpasar Bali, Minggu (2/2), mengatakan tujuan dari kampaNye tersebut dalam upaya melindung satwa langka tersebut.
“Kami harapkan dengan kampanye ini, diharapkan masyarakat tidak lagi menggunakan produk-produk asesoris berbahan dari karapas atau cangkang penyu,” ucapnya.
Ia mengatakan selain mendorong partisipasi masyarakat, pihaknya juga akan mendorong dan bermitra dengan aparat penegak hukum untuk menangani perdagangan ilegal produk yang mengandung penyu sisik.
Jayuli menyebutkan berdasarkan data bahwa perdagangan produk yang mengandung karapas penyu sisik (Eretmochelys imbricata) di Indonesia masih tinggi, dengan nilai ekonomi diperkirakan sekitar Rp5 miliar. Investigasi terbaru tim Profauna Indonesia mengungkap fakta perdagangan produk penyu sisik ilegal itu masih banyak terjadi di Bali, Nias Sumatera Utara dan juga dijual secara online.
Perdagangan produk mengandung karapas penyu sisik itu paling banyak dijual secara online. Selama bulan Agustus hingga September 2019, tim melakukan survei di 11 platform online untuk mengetahui perdagangan penyu sisik. Kesebelas platform yang disurvei itu adalah Facebook, Instagram, Shoppe, Tokopedia, Bukalapak, Carousell, Prelo, Kaskus, Belanjaqu, Blogspot dan website. Hasilnya ditemukan 1.574 iklan dan 199 akun yang terkait perdagangan penyu sisik secara online.
Produk mengandung penyu sisik yang dijual secara online itu, antara lain dalam bentuk cincin, gelang, kalung dan aksesoris lainnya. Jumlah total item yang ditawarkan secara online itu ada 29.326 item dengan nilai uang diperkirakan sekitar Rp5 miliar.
Harga produk mengandung penyu sisik itu ditawarkan dengan harga bervariasi, mulai dari Rp15.000 untuk cincin yang sederhana, hingga jutaan rupiah untuk kipas tangan.
“Selain faktor lemahnya penegakan hukum, penyebab maraknya perdagangan produk mengandung penyu sisik itu adalah akibat rendahnya kesadaran masyarakat yang masih membeli produk itu. Alasan itulah yang mendorong koalisi NGO meluncurkan kampanye secara nasional untuk mengajak masyarakat berhenti membeli produk yang mengandung penyu sisik,” kata Ketua ProFauna Indonesia Rosek Nursahid.
Ia mengatakan penyu sisik sudah masuk jenis satwa yang dilindungi undang-undang. Artinya penangkapan atau perdagangannya, baik dalam kondisi hidup maupun bagian tubuhnya seperti sisiknya itu dilarang. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi seperti penyu itu diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta.
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto