Sejumlah sapi dikandangkan di atas kapal kargo yang akan dikirim ke Surabaya dan Jakarta, di pelabuhan Tenau Kupang, NTT Minggu (28/2). Sejumlah pengusaha sapi asal NTT terpaksa menggunakan kapal kargo untuk mengirimkan sapi-sapi mereka karena tidak mendapat jatah tempat di Kapal Camara Nusantara I. ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/nz/16.

Jakarta, Aktual.com — Kerja sama peternakan antara Pemerintah NTT dengan Pemerintah DKI Jakarta terancam batal jika pemerintah di daerah ini tidak serius memperhatikan perkembangan populasi sapi.

Populasi ternak sapi di NTT hingga saat ini sebanyak 800.000 lebih. Setiap tahun menghabiskan sekitar 170.000 lebih ekor untuk kegiatan pengantarpulauan, memenuhi kebutuhan masyarakat, dan yang dipotong di rumah potong hewan (RPH).

“Sementara itu, pertumbuhan populasi ternak hanya sekitar 25.000 ekor per tahun,” kata Anggota DPRD NTT, Leonardus Lelo di Kupang, Sabtu (9/4).

Artinya, pertumbuhan populasi yang tidak sebanding dengan jumlah ternak yang harus dihabiskan dalam setahun itu, maka pada suatu saat ternak sapi di NTT akan habis atau punah.

“Kita mau tanya seperti apa bentuk kerja sama dengan DKI Jakarta terkait pengembangan ternak,” katanya.

Sementara itu, anggota DPRD NTT dari Fraksi PKB, Yucun Lepa mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk mewujudkan tekadnya mengembalikan NTT sebagai gudang ternak. Bicara tentang ternak tidak bisa dipisahkan dari ketersediaan sapi betina produktif.

“Sangat disesalkan, di pusat pembibitan yang ditangani pemerintah, tingkat kegagalannya cukup tinggi,” katanya.

Ia mencontohkan, di pusat pembibitan Besipae, dari total pengadaan sebanyak 220 ekor, yang mati mencapai 126 ekor. Demikian juga di pusat pembibitan Lili, Kabupaten Kupang. Dari 300 ekor pengadaan, yang mati sebanyak 60 ekor.

“Kita minta pemerintah serius tangani hal ini. Jangan sampai apa yang disampaikan gubernur dalam rapat kerja dengan dewan, ditipu oleh bawahan karena tidak sesuai dengan kondisi riil lapangan,” kata Yucun.

Ia menyatakan, di pusat pembibitan yang ditangani saja tingkat kematian ternak cukup besar, apalagi ditangani sendiri oleh masyarakat. Ini menunjukkan pemerintah tidak serius memperhatikan aspek budidaya pengembangan betina produktif.

Ia menyarankan, sebaiknya para petugas yang bekerja di pusat pembibitan mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pemerintah atau pihak yang berkompeten di bidang peternakan sapi.

“Sejauh ini populasi ternak yang menjadi masalah serius dalam kerja sama itu. Pemerintah NTT harus jamin ketersediaan populasi ternak untuk kebutuhan masyarakat di DKI Jakarta, bukan didata dari ternak milik masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas yakni sekitar dua sampai tiga ekor,” katanya.

Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan dana sebesar Rp20 miliar untuk pemberdayaan kelompok peternak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai tindak lanjut perjanjian kerja sama antara kedua provinsi yang ditandnatangani 20 Desember 2014 lalu.

“Dana tersebut dialokasikan untuk sentarlisasi pembibitan di instalasi Lili Kabupaten Kupang dan pemberdayaan kelompok masyarakat melalui penggemukan pola inti plasma,” kata Gubernur Frans Lebu Raya dalam rapat kerja dengan DPRD NTT.

Menurut dia, untuk sentralisasi pembibitan dipersiapkan 1000 ekor sapi betina bibit dan 100 ekor jantan bibit. Sedangkan untuk penggemukan , 1000 ekor bakalan jantan di 20 kelompok peternak di Kabupaten Kupang dan Kota Kupang.

“Selain itu sentralisasi pembibitan dan penggemukan untuk pemberdayaan masyarakat di 75 kelompok peternak binaan dengan alokasi 1.500 ekor betina bibit, 150 ekor jantan bibit dan 1500 ekor jantan bakalan penggemukan,” jelas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka