Kiri-kanan ; Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, Dosen UGM dan mantan anggota Tim Anti Mafia Migas Fahmy Radhi, Pengamat Energi Yusri Usman, PB Pemuda Muslimin Indonesia Mukhlis Zamzami, Direktur IRESS Marwan Batubara, dalam diskusi di Jakarta, Minggu (13/12/2015). Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Pemuda Muslimin Indonesia (PB PMI) dengan tema " Keniscayaan Nasionalisasi Dibalik Sengkarut Freeport".

Jakarta, Aktual.com — Raksasa tambang emas dan tembaga, PT Freeport Indonesia (PTFI) telah beroperasi sejak 1967. Ironisnya, selama 48 tahun mengeruk sumber daya alam Indonesia, Freeport terus bermanuver menghindari kewajibannya membangun smelter, royalti dan divestasi.

“Kewajiban fundamental Freeport adalah membangun smelter dan divestasi saham sebesar 51 persen. Kedua kewajiban tersebut sudah tertuang dalam perpanjangan Kontrak Karya pada 1991 yang diteken Menteri Pertambangan saat itu, Ginandjar Kartasasmita, serta semua ketentutan tersebut telah diatur tegas dalam UU Minerba Tahun 2009,” ujar pengamat kebijakan energi, Yusri Usman di Jakarta, ditulis Kamis (17/12).

Menurutnya, Freeport juga telah melanggar UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1966 dan UU Lingkungan Hidup dalam mengelola bijih menjadi konsentrat di lokasi tambang.

“Bahkan Freeport malah menghembuskan angin sorga akan investasi USD18 miliar untuk tambang bawah tanah. Tema inilah yang digadang-gadang Menteri ESDM Sudirman Said sehingga perlu memperpanjang kontrak Freeport,” jelasnya.

Dikatakan Yusri, sikap curang Freeport terlihat pada kewajiban divestasi hanya 30 persen seperti tertuang dalam poin di UU Minerba dan PP 77 Tahun 2014, Pasal 7C ayat d. Pasal tersebut diberlakukan untuk IUP Operasi Produksi di bawah tanah. Namun Freeport tetap bersikukuh izin Kontrak Karya mereka adalah “lex specialist alias neil down”.

“Faktanya, kewajiban itu pun tidak dilakukan sebelum ada kepastian dari pemerintah untuk memperpanjang kontraknya,” pungkas Yusri.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka