Jakarta, Aktual.com -Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan anggota legislatif untuk mundur jika ingin mencalonkan diri di Pemilihan Kepala Daerah serentak, membuat gusar DPR RI.
Sebagai ‘balasan’, Komisi III DPR RI akan buat dewan pengawas untuk hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuannya, agar para hakim di MK tidak lagi membuat keputusan keputusan yang semena-mena.
Disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Muslim Ayub, rencana itu mencuat menyusul putusan MK terkait syarat-syarat untuk bertarung di Pilkada.
Sebab gara-gara putusan MK, kata dia, bakal banyak anggota dewan yang harus mundur karena ikut nyalon.
“Nggak elok lah calon harus mundur apalagi kita baru beberapa bulan (jadi anggota dewan). Dengan aturan ini tidak bisa lagi kita berkreasi,” ujar Muslim, di Senayan, Jakarta, Jumat (10/7).
Menurutnya, tidak adil bila anggota dewan ataupun jabatan lain harus berhenti dari posisinya jika masih berstatus calon kepala daerah. Itu artinya, jika tidak terpilih menjadi kepala daerah maka posisi yang diperjuangkan sebelumnya akan sia-sia.
“Kita terpilih (sebagai anggota dewan) sudah berjibaku. Dengan adanya Undang-Undang ini jadi gimana. Bukan lagi salah makan obat, saya nggak tau formulasi harus apa,” cetusnya.
Politisi PAN ini menyebut Komisi III harus merevisi UU yang dirubah tersebut. Pasalnya, Undang-undang Pilkada sudah disahkan seluruh anggota DPR dan tidak bisa dirubah seenaknya.
“UU itu disahkan 560 anggota DPR. Tapi dengan waktu singkat sembilan (Hakim MK) orang itu digantilah Undang-Undang. Banyak lah yang harus kita revisi Undang-Undang ini,” kata dia.
Sementara itu, putusan yang diberlakukan agar keluarga petahana tak bisa daftarkan diri untuk menghindarkan politik dinasti. Justru, kata Muslim, petahana lebih berbahaya.
“Jangan-jangan keluarga hakim MK itu lagi yang mau calonkan diri,” tudingnya.
Sebagaimana diketahui, keluarga petahana tidak bisa maju segera di pilkada dan harus diberi jeda satu masa jabatan diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. UU itu disahkan oleh DPR pada 9 Februari lalu. UU ini dibuat sebagai dasar untuk pelaksanaan pilkada serentak yang akan dilakukan pada 9 Desember mendatang.
Semangat pembuatan undang-undang itu adalah untuk membatasi agar politik dinasti tidak menggurita di Indonesia. Pasalnya, ada kecenderungan politik dinasti memicu terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Contoh yang paling kuat adalah kasus yang menimpa Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut dan Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin yang sebelumnya dua kali menjabat sebagai Bupati Bangkalan.
Undang-Undang ini memicu cukup banyak penolakan, terutama bagi mereka para kerabat petahana yang tidak bisa maju dalam pilkada serentak nanti. Salah satunya anggota DPRD Kabupaten Gowa bernama Adnan Purichta Ichsan yang juga berstatus anak Bupati Gowa saat ini, Ichsan Yasin Limpo.
Ichsan Yasin Limpo ini adalah adik kandung dari Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Adnan kini tengah menjajaki jalan untuk menjadi calon Bupati Gowa dari Partai Golkar. Adnan lalu mengajukan permohonan uji materi UU Pilkada.
Mahkamah Konstitusi menganggap aturan yang melarang seorang calon kepala daerah berkonflik kepentingan dengan petahana bertentangan dengan konstitusi. Para hakim MK memutuskan, Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Artikel ini ditulis oleh: