Ratusan nelayan dari berbagai wilayah melakukan aksi penolakan Reklamasi Teluk Jakarta, di Pelabuhan Muara Angke dan di Pulau G, Jakarta Utara, Minggu (17/4/2016). Dalam aksinya mereka menuntut agar seluruh proyek reklamasi di teluk Jakarta dihentikan dan Keppres No. 52 Tahun 1995 dan Perpres 54 Tahun 2008 yang melegitimasi proyek reklamasi dicabut.

Jakarta, Aktual.com – Kesedihan timbul akibat proyek reklamasi Teluk Jakarta, ratusan orang bergerombol di dermaga Muara Angke, Jakarta Utara.

Cilong, sebutan bagi mereka yang mencari mencari kerang hijau ataupun sampah plastik di pinggiran dermaga.

Salah seorang warga Muara Angke Rt 1/11, Jaja (22) menuturkan, mereka mencari kerang atau sampah di sana, lantaran lahannya mencari telah hilang akibat reklamasi.

“Kan patok-patoknya sudah hancur diurug pasir, ya mereka cari-cari di kolong-kolong batu,” ucapnya kepada Aktual.com, Muara Angke, Jakarta Utara, Kamis (21/4).

Meski para cilong mendapatkan hasil yang tak jauh dari langgang buatannya, Jaja meneruskan, para cilong harus mempertaruhkan nyawa jika sewaktu-waktu dihempas ombak yang besar.

“Hasilnya sih nggak beda jauh. Tapi resikonya lebih gede. Kalau ada ombak bisa kebentur kepalanya di batu,” kata dia.

“Ya kalau berani lanjut nyari, kalau nggak ya mending pulang,” tambahnya menjelaskan jika lara cilong bertemu ombak besar.

Sebab itu, Deputi Pengelolaan Program dan Evaluasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati mempertanyakan tujuan pembangunan reklamasi yang saat ini tengah dihentikan sementar.

Menurutnya, pembangunan reklamasi tidak memberikan porsi bagi warga Jakarta terutama nelayan sebagai korban terdampak.

“Pemerintah harus lebih arif, melihat pembangunan apakah untuk rakyat atau hanya untuk segelintir orang, karena ketika laut tersebut diuruk maka nelayan kehilangan pekerjaannya. Faktanya selain itu, nelayan juga ditempatkan pada rentan dkriminalisasasi saat melaut melewati pulau reklamasi,” paparnya.
“Ada hal yang bergeser drastis lebih dari 100 Kepala Keluarga (KK) berganti profesi. Disana banyak yang menjadi cilong, ini fenomena dari reklamasi yang merampas hak hidup,” ujar Susan Herawati, Deputi Pengelolaan Program dan Evaluasi Kiara, LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Selasa (19/4/2016).

Dalam masa moratorium ini, Susan berpesan, momentum moratorium ini bisa digunakan sebaik mungkin untuk memgetahui tujuan reklamasi dibuat.

“Siapa yang melakukan, siapa yang berhak, dan siapa yang menikmati reklamasi. Itu harus jelas,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh: