Jakarta, Aktual.com – Kenaikan biaya STNK dan BPKB telah menyebabkan polemik di tengah masyarakat. Pasalnya, Presiden Joko Widodo selaku pihak yang menorehkan tandatangan di atas PP No 60 Tahun 2016 sebagai dasar hukum kenaikan biaya STNK dan BPKB, ternyata mempertanyakan besaran kenaikan tersebut.
Sikap Presiden kemudian diikuti oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kapolri Tito Karnavian yang menyatakan institusinya bukanlah pengusul kenaikan biaya STNK dan BPKB.
“Penyangkalan para pejabat tersebut menyebabkan kebingungan di masyarakat tentang siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab atas kebijakan tersebut,” terang Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani, Sya’roni, dalam keterangannya kepada Aktual, Jumat (6/1).
Menurutnya, masyarakat merasa kenaikan tarif hingga 300 persen sangat memberatkan. Tetapi bila para pejabat seakan lempar tanggungjawab, lantas kepada siapa masyarakat menyampaikan penolakannya. Padahal, kebijakan tersebut sudah diberlakukan sejak tanggal 6 Januari 2017.
“Kasus ini menggambarkan bahwa manajemen pemerintahan tidak solid dan masih lemah koordinasinya. Tentu pada akhirnya mau tidak mau pihak yang paling disalahkan adalah Presiden Jokowi sebagai pucuk pimpinan pemerintahan,” ucap Sya’roni.
Ia mengingatkan, kasus ‘keteledoran’ Presiden sebenarnya pernah terjadi ketika pemerintah bermaksud menaikkan DP mobil pejabat. Meskipun Presiden telah menandatangani Perpres No 39 Tahun 2015, namun karena kuatnya penolakan dari masyarakat akhirnya Presiden membatalkannya.
Dalam kasus DP mobil pejabat, lanjutnya, ada pejabat yang berani bertanggungjawab, yaitu Andi Widjajanto yang saat itu menjabat sebagai Seskab. Andi mengakui sebagai garda terakhir sebelum Presiden tandatangan merasa tidak cermat. Dan tidak berapa lama kemudian, Andi Widjajanto dicopot.
Sementara dalam kasus STNK dan BPKB hingga kini belum ada satu pun pejabat yang berani bertanggungjawab. Tidak ada yang berani pasang badan untuk presiden sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Andi Widjajanto.
“Kasus ini bisa mendegradasi kewibawaan Presiden bila tidak ada satu pun pejabat yang mau bertanggung jawab. Artinya, Presiden sendiri yang akhirnya dipaksa untuk bertanggung jawab sebagai pihak yang menandatangi PP,” urainya.
Syaroni mengutip pernyataan yang sering diucapkan oleh Presiden yakni bila melakukan kesalahan harap tahu diri. Tentunya Presiden menginginkan siapa pun yang berbuat kesalahan harus berani bertanggung jawab.
“Untuk membuktikkan ucapannya, bisa saja Presiden menyopot para pejabatnya. Namun, tidak bisa dipastikan pejabat mana yang akan dicopot, yang jelas Presiden akan mencari ‘kambing hitam’ yang tepat. Dan bila ini yang terjadi, maka reshuffle sudah di depan mata,” ucap Syaroni.
Bila dikaitkan dengan isu reshuffle belakangan juga terasa menemukan alurnya. Terlebih beberapa hari lalu bergulir pernyataan dari politisi PDIP akan adanya reshuffle. Berikut kabar Golkar yang ingin menambah kursi serta isu kesediaan Gerindra masuk kabinet.
“Bisa jadi kegaduhan tentang kenaikan biaya STNK dan BPKB akan dijadikan pintu masuk oleh Presiden untuk melakukan reshuffle,” demikian Sya’roni.
Artikel ini ditulis oleh: