Yudi Latif
Yudi Latif

Oleh: Yudi Latif

Jakarta, aktual.com – Saudaraku, dalam gemuruh kerumunan, negeri ini terasa kian senyap. Bukan karena tak ada keriuhan suara, tapi sulit menemukan suara yg jelas dan pantas didengar. Pembicara tak menemukan pendengar percaya. Pendengar tak menemukan pembicara terpercaya.

Krisis kepercayaan adalah senyap yang memekakkan, sebuah retakan halus yg perlahan menjalar, meruntuhkan fondasi yg pernah kokoh. Ibarat badai sunyi yg menggulung jiwa, menghantam pelabuhan-pelabuhan kecil tempat berlindung.

Ia datang tanpa peringatan, meruntuhkan jembatan-jembatan yang pernah dibangun dengan tangan penuh harap; menyisakan reruntuhan—pecahan janji, serpihan harapan, dan gema bisu dari kejujuran yang pudar. Ia menggulung seperti kabut tebal pagi hari, menyelimuti segala arah, membuat kita ragu pada setiap langkah. Apa yang dulu terasa pasti kini menjadi teka-teki, penuh bayang kebimbangan.

Dalam krisis kepercayaan ini, kata-kata kehilangan makna, janji menjadi gema yang hampa. Mata yang dulu kau percaya kini terasa asing, seperti cermin retak yang memantulkan bayangan tak utuh, membuatmu meragukan siapa pun.

Segalanya terasa seperti teka-teki tanpa akhir. Kata-kata yang dulu hangat kini terdengar dingin, bak angin malam yang menusuk. Tatapan yang pernah menjadi pelipur lara berubah menjadi bayangan samar, tak lagi mengundang rasa aman. Setiap detik adalah pergulatan, antara ingin percaya lagi atau menyerah pada keraguan.

Kepercayaan adalah benang halus yang menenun hubungan, tetapi saat ia terputus, dunia terasa sunyi. Tak ada lagi pelukan hangat, hanya dingin yang menyelinap ke dalam dada. Hati yang pernah terbuka kini menjadi benteng berdinding tinggi dengan gerbang terkunci.

Namun, di tengah reruntuhan itu, ada pelajaran yang diam-diam berbisik. Bahwa kepercayaan bukanlah hadiah, melainkan proses. Ia tumbuh perlahan, bak tunas kecil yang mencari cahaya. Kendati krisis ini menyesakkan, ia adalah panggilan untuk menata ulang, untuk memulai kembali, bukan dengan janji, tetapi dengan ketulusan. Krisis ini juga cermin yang memaksa kita menatap diri sendiri, menelusuri retakan yang tak hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam. Berani jujur pada nurani sendiri sebagai basis pemulihan kepercayaan publik.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain