“Ini jelas sekali melanggar konsep konstitusi dengan pengelolaan sektor strategis melalui anak usaha BUMN yang merupakan perseroan terbatas atau bukan BUMN yang terkekang oleh UU perseroan terbatas No 40 tahun 2007 dan Kebijakan Holdingnya. Apakah satu lembar saham dwi warna di anak usaha BUMN bisa memberikan hak yang sama bagi negara seperti hal di BUMN? Jawabnya jelas tidak bisa! Ini bentuk degradasi penguasaan negara,” jelas Narsil.

Dengan demikian bisa dimengerti langkah Menteri BUMN melalui PP 72 yang tidak mau melibatkan DPR dalam pembentukan holding, karena memang holding BUMN terindikasi menggelapkan kekayaan negara, hal ini tentu akan mendapa sandungan jika dikonsultasikan ke DPR.

“Menariknya kekayaan negara yang berupa saham di BUMN setelah diinbreng akan berubah menjadi kekayaan BUMN atau perseroan terbatas. Perubahan status kekayaan negara ini dapat dilakukan langsung tanpa persetujuan DPR. Seolah lupa bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi jelas bahwa kekayaan negara yang dipisahkan di BUMN tetap dinyatakan sebagai kekayaan negara dan tetap dalam pengawasan BPK. Terlebih lagi dengan memahami konsep BUMN Indonesia terutama BUMN disektor strategis tidak dapat dilakukan serta merta pengalihan secara langsung. Konfirmasi atas tugas utama BUMN sebagai pengembang amanat negara dalam aspek pengelolaan harus dipastikan. Masalah hukum ini sangat eksplisit harus dianalisis dan dipertimbangkan hati hati. Perubahan status BUMN menjadi anak usaha BUMN seolah menjadi usaha untuk dapat keleluasaan dalam pemanfaatan kekayaan negara tanpa pengawasan dan persetujuan dari DPR seperti ketika berstatus BUMN,” pungkas dia.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby