Jakarta, Aktual.com – Ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh perorangan warga Indonesia bernama Muhammad Dandy, meskipun sebelumnya uji untuk ketentuan ini sudah pernah diputus.
“Pemberlakuan Pasal 222 Undang Undang Nomor 72 Tahun 2017 telah nyata-nyata merugikan hak konstitusional pemohon sebagai pemilih pemula atau pemilih milenial yang tidak pernah memberikan mandat atau suara kepada partai-partai pada pemilihan umum tahun 2014 untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden,” ujar kuasa hukum pemohon, Unoto Dwi Yulianto di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (12/7).
Pemohon berpendapat sebagai pemilih, tentu berhak mendapatkan alternatif sebanyak-banyaknya calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden maksimal sebanyak jumlah partai politik yang telah diverifikasi oleh KPU dan dinyatakan dapat mengikuti pemilihan umum.
“Banyaknya calon presiden dan wakil presiden berbanding lurus dengan upaya demokrasi yang mencari pemimpin yang terbaik dari yang baik, sehingga semakin banyak pilihan akan membuat rakyat Indonesia termasuk pemohon mendapatkan manfaat dalam menentukan pilihan,” ujar Unoto.
Pemohon dalam dalilnya kemudian menjelaskan pihaknya baru pertama kali memilih untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019, sehingga bila ketentuan a quo berlaku akan berpotensi menghilangkan hak konstitusionalitas pemilih pemula untuk mendapatkan banyaknya alternatif calon pemimpin.
“Mekanisme berdasarkan hasil pemilu sebelumnya jelas merugikan dan mengebiri hak-hak konstitusional pemilih pemula termasuk pemohon karena pemohon tidak pernah memberikan mandat atau suaranya kepada partai politik mana pun pada pemilihan umum tahun 2014,” kata Unoto.
Karena pemilihan umum tahun 2019 dilakukan secara serentak, pembuat undang-undang tidak perlu menetapkan ambang batas pencalonan presiden dengan merujuk pada hasil pemilihan umum sebelumnya karena sangat berpotensi melanggar hak- hak konstitusional pemilih pemula atau milenial, khususnya pemohon.
Lebih lanjut pemohon berpendapat bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bukanlah kebijakan hukum yang bersifat terbuka (open legal policy).
“Karena menurut hemat kami justru bersifat kebijakan tertutup dan bahkan limitatif, sehingga jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang hanya mensyaratkan pencalonan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik,” jelas Unoto.
Oleh sebab itu pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan ketentuan a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: