Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya Widya Yudha mengatakan keterlambatan penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA) pada proyek pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Jawa I berkapasitas 2 x 800 megawatt (MW) menyebabkan keterlambatan pencapaian program 35.000 MW pada tahun 2019.

Untuk itu dia menuntut pertanggungjawaban kepada PLN dan Konsorsium Pertamina karena dinilai tidak profesional dalam melaksanakan program listrik yang menjadi program prioritas pemerintah.

“Kami menyesalkan keterlambatan PPA. Ini berpotensi mundurnya pencapaian proyek 35.000 MW,” kata Satya kepada Aktual.com di Jakarta, Rabu (25/1).

Seharusnya lanjut Satya, para peserta tender mengajukan keberatan lebih awal apabila peserta tender menilai tidak ekonomis. Namun anehnya, saat ini terjadi persengketaan setelah pemenang tender ditetapkan.

“Seharusnya kejelasan dokumen tender itu seharusnya sudah selesai pada awal proses. Jadi menurut saya ini miss management dari pelaksanan tender itu sendiri. Kesalahan kedua belah pihak konsorsium Pertamina dan PLN,” tandasnya.

Untuk diketahui, panitia seleksi dari PLN membuka tender PLTGU Jawa I dimulai pada Juli 2016 lalu dan diikuti oleh 4 peserta. Dari perserta tersebut, konsorsium Pertamina-Marubeni Corporation-Sojitz telah diumumkan sebagai pemenang tender pada 31 Oktober 2016.

Power Purchase Agreement (PPA) alias kontrak jual-beli listrik harusnya ditandatangani dalam waktu 45 hari setelah LoI. Tetapi kemudian terdapat beberapa permasalahan yang membuat penandatanganan PPA tak bisa dilaksanakan pada 13 Desember 2016.

Adapun diantara permasalahan yang disengketakan yaitu terkait Availability Factor. Pihak PLN mengklaim menentukan sebesar 60 persen.

Artinya, PLN diwajibkan membeli paling sedikit 60 persen dari listrik yang dihasilkan PLTGU Jawa I. PLN terkena sanksi Take Or Pay apabila hanya mampu menyerap listrik PLTGU Jawa 1 kurang dari 60 persen.

Namun berbeda dengan pandangan konsorsium. Konsorsium merasa dalam dokumen perjanjian dikatakan PLN harus menyerap minimal 85 persen listrik dari PLTGU Jawa I, Take Or Pay dikenakan apabila listrik yang terserap di bawah 85 persen

Selain itu, terdapat juga permasalahan bankability terkait dengan LNG Sales Purchase Agreement (SPA), alias kontrak jual-beli gas untuk bahan bakar PLTGU Jawa I.

Konsorsium menyatakan, pihak bank pemberi kredit (lender) mengharuskan adanya LNG SPA untuk pasokan ke PLTGU Jawa I. Kalau LNG SPA tidak ada, lender tak akan mau memberikan pendanaan.

Pasokan LNG untuk PLTGU Jawa I adalah tanggung jawab PLN. Namun PLN menginginkan setelah PPA.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Arbie Marwan