Jakarta, Aktual.co — Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr Bayu Dwi Anggono, mengatakan daulat rakyat akan tersandera dalam ketidakpastian penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pilkada.
“Dalam Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menugaskan Mahkamah Konstitusi menangani sengketa pilkada sampai terbentuknya badan peradilan khusus,” katanya di Jawa Timur, Sabtu (25/4).
Menurut dia, penyelesaian perselisihan hasil pilkada melalui badan peradilan khusus karena MK melalui putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menganulir Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
“Jadi, MK tidak lagi berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada, namun ketidaksiapan MA untuk melaksanakan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang menyebutkan Pengadilan Tinggi yang ditunjuk MA berwenang memutuskan perkara perselisihan hasil pilkada, tentu menjadi masalah,” tuturnya.
Bayu menilai pembentukan badan peradilan khusus untuk mengadili perselisihan hasil sengketa pilkada tidak serta merta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, sehingga daulat rakyat akan tersandera dalam ketidakpastian penyelesaian sengketa pilkada itu.
“Perselisihan pilkada seharusnya diserahkan ke MK mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga konflik antarpasangan calon dalam pilkada tidak berlarut-larut dan tentunya akan lebih menjamin situasi politik dan keamanan di daerah yang kondusif,” paparnya.
Para hakim MK, lanjutnya, sesuai Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 memenuhi kualifikasi sebagai negarawan yang tentunya independensi dan integritasnya telah teruji dalam mengadili perkara hukum yang berdimensi politik seperti pilkada.
“Hal itu akan sangat rawan jika untuk menyelesaikan perselisihan pilkada yang nuansa politiknya sangat kuat diserahkan hakim ad hoc pada badan peradilan khusus yang belum teruji integritas dan independensinya.”
Artikel ini ditulis oleh:

















