Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) Rinto Setiyawan. FOTO: Ist

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP (Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)

Jakarta, aktual.com – Setiap kali bencana besar melanda Sumatera—banjir yang menelan kampung, longsor yang memutus jalan, asap yang menyesakkan napas sampai berbulan-bulan—kita menyaksikan pola yang hampir selalu sama. Rakyat bergerak duluan: saling mengungsi, membuka dapur umum, menggalang donasi. Negara datang belakangan, sering kali dengan narasi yang itu-itu saja: koordinasi, verifikasi, keterbatasan anggaran, dan perdebatan teknis soal status bencana.

Pertanyaan yang seharusnya kita ajukan hari ini bukan lagi, “Mengapa negara lambat?”

Pertanyaannya sudah naik kelas: “Ada yang salah apa dengan desain tata negara kita, sampai negara terus-menerus gagap ketika rakyat berada di titik paling rentan?”

Bencana Sumatera hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya ada di hulu: arsitektur kekuasaan yang dibangun oleh perubahan UUD 1945 pasca-reformasi, yang belum selesai dan belum sepenuhnya memulihkan kedaulatan rakyat. Karena itu, pembahasan tentang Amandemen Kelima UUD 1945 bukanlah wacana elitis di ruang seminar, melainkan kebutuhan mendesak yang menyangkut nyawa, tanah, dan masa depan jutaan warga.

Bencana yang Berulang, Negara yang Tidak Pernah Belajar

Sumatera adalah laboratorium terbuka dari kegagalan kita membaca risiko dan belajar dari pengalaman. Setiap beberapa tahun, bencana besar kembali datang. Kita selalu menyebutnya “musibah”, “cuaca ekstrem”, atau “fenomena alam”. Jarang sekali negara secara tegas mengakui bahwa banyak bencana itu adalah hasil akumulasi keputusan politik dan ekonomi: pembukaan hutan tanpa kendali, izin tambang yang agresif, tata ruang yang tunduk pada modal, dan abainya penegakan hukum.

Di saat yang sama, ketika skala kerusakan sudah melampaui kemampuan daerah, pemerintah pusat terlihat ragu untuk menetapkan status bencana nasional. Seolah-olah label ini adalah pengakuan dosa yang harus dihindari. Padahal, secara normatif, status tersebut adalah instrumen untuk mengaktifkan tanggung jawab penuh negara: mobilisasi anggaran nasional, operasi lintas kementerian, dan pembukaan akses bantuan internasional.

Keraguan ini melahirkan situasi abu-abu: daerah kewalahan, pusat berhitung, rakyat menunggu. Negara seperti kehilangan kompas. Pertanyaannya: mengapa keputusan yang menyangkut keselamatan jutaan orang begitu mudah tersandera kalkulasi politik?

Jawabannya ada pada desain tata negara yang membiarkan kedaulatan rakyat terperangkap di antara partai politik, birokrasi yang terfragmentasi, dan sistem pengambilan keputusan yang jauh dari mereka yang terdampak langsung.

Kedaulatan Rakyat yang Hanya Hidup di Atas Kertas

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Namun, praktik politik selama puluhan tahun menunjukkan hal lain: rakyat lebih sering menjadi objek kebijakan ketimbang subjek kedaulatan.

Dalam urusan yang berkaitan langsung dengan bencana—seperti tata ruang, perizinan lingkungan, tata kelola hutan dan tambang—keputusan ada di tangan kombinasi aktor: pemerintah pusat, pemerintah daerah, partai politik, dan korporasi besar. Warga yang tinggal di sekitar sungai, lereng bukit, dan kawasan hutan jarang sekali benar-benar terlibat dalam pengambilan keputusan. Mereka baru “dihitung” setelah menjadi korban.

Amandemen UUD pasca-1998 memang memperkuat beberapa aspek demokrasi prosedural, tetapi belum menyentuh desain representasi rakyat dalam isu-isu strategis yang menyangkut ruang hidup dan lingkungan. Di titik inilah kita melihat jurang menganga antara “rakyat sebagai pemilik kedaulatan” dan “rakyat sebagai korban kebijakan”.

Bencana Sumatera menguak dengan telanjang jurang tersebut:

negara bisa dengan cepat menerbitkan izin, tetapi bisa begitu lambat mengakui kesalahan tata kelola ketika bencana datang.

Sengkarut Lembaga dan Kewenangan di Tengah Darurat

Penanganan bencana selalu menyentuh banyak sektor: lingkungan hidup, kehutanan, energi, pekerjaan umum, kesehatan, sosial, keuangan negara, hingga aparat keamanan. Namun lembaga-lembaga ini kerap bekerja seperti pulau-pulau yang berdiri sendiri. Koordinasi bergantung pada figur, bukan pada desain sistem.

Ketika bencana di Sumatera meluas, muncul beberapa persoalan mendasar:

1. Siapa sebenarnya pemegang komando tertinggi dalam keadaan darurat bencana lintas provinsi?

Di level regulasi, ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada kementerian teknis, ada pemerintah daerah. Namun di lapangan, garis komando ini sering kabur. Kepala daerah meminta status dinaikkan, kementerian menunggu kajian, pusat berhitung dampak politik dan fiskal.

2. Status bencana nasional menjadi keputusan politis, bukan mekanisme otomatis berbasis indikator.

Seharusnya, ketika parameter tertentu—luas wilayah terdampak, jumlah korban, kerusakan infrastruktur, dan ketidakmampuan daerah—telah terpenuhi, status nasional berjalan sebagai konsekuensi logis. Faktanya, proses ini kerap tertahan di meja-meja rapat.

3. Pertanggungjawaban atas kebijakan sebelum bencana tidak pernah jelas.

Izin tambang, konsesi hutan, dan perubahan tata ruang yang berkontribusi pada kerentanan bencana jarang sekali ditarik garis lurus dengan kerusakan yang dihadapi warga. Negara lebih fokus pada bantuan logistik ketimbang mengurai rantai sebab-akibat kebijakan.

Semuanya bermuara pada satu kesimpulan: struktur lembaga negara yang sekarang tidak dirancang untuk bertindak cepat dan bertanggung jawab penuh ketika nyawa rakyat terancam oleh bencana yang bersifat sistemik.

Bencana sebagai Tes Konstitusional, Bukan Sekadar Musibah

Selama ini, bencana cenderung ditempatkan sebagai urusan teknis penanggulangan, seolah cukup diselesaikan lewat prosedur administratif dan logistik. Padahal, dalam perspektif ketatanegaraan, bencana adalah tes konstitusional.

Di sinilah kita menguji:

• Apakah negara benar-benar menempatkan perlindungan rakyat sebagai tujuan utama?

• Apakah hak atas lingkungan yang baik dan sehat, yang disebut dalam berbagai peraturan, hadir sebagai kenyataan, bukan sekadar frasa normatif?

• Apakah rakyat punya sarana untuk menuntut kebenaran dan pertanggungjawaban ketika bencana ternyata bukan “takdir alam”, melainkan buah dari kebijakan yang serampangan?

Jika setiap kali bencana Sumatera terjadi, negara kembali lambat, tertutup, dan defensif, maka persoalan kita bukan lagi sekadar kapasitas birokrasi. Kita sedang berhadapan dengan keterbatasan desain konstitusi yang membiarkan kekuasaan besar berjalan tanpa cukup mekanisme akuntabilitas dan partisipasi rakyat.

Amandemen Kelima: Mengubah Cara Negara Hadir di Tengah Bencana

Di titik inilah gagasan Amandemen Kelima UUD 1945 menjadi relevan dan mendesak. Bukan untuk mengulang kekacauan politik masa lalu, tetapi untuk menyempurnakan desain ketatanegaraan agar:

• kedaulatan rakyat benar-benar hidup,

• pertanggungjawaban kekuasaan lebih jelas,

• dan negara tidak lagi gagap ketika berhadapan dengan bencana besar.

Beberapa arah pembenahan yang dapat menjadi bahan perenungan:

1. Memperkuat kanal kedaulatan rakyat di luar partai politik

Kita perlu memikirkan bentuk representasi rakyat yang tidak sepenuhnya dimonopoli partai. Dalam konteks kebijakan strategis terkait ruang hidup, lingkungan, dan bencana, kelompok-kelompok warga terdampak, komunitas adat, dan organisasi masyarakat sipil harus diberi posisi lembaga yang jelas dalam struktur negara.

Ini tidak cukup diatur lewat UU biasa yang mudah berubah. Jaminan konstitusional diperlukan agar suara mereka tidak mudah disingkirkan oleh koalisi politik dan ekonomi jangka pendek.

2. Menata ulang arsitektur kedaruratan bencana lintas daerah

Konstitusi dapat memberikan prinsip dasar yang lebih tegas, misalnya:

• Negara wajib mengumumkan status tertentu ketika indikator objektif telah terpenuhi, tanpa menunggu kalkulasi politik.

• Dalam keadaan bencana skala besar, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk membuka data, mengundang partisipasi publik, dan membentuk mekanisme independen untuk menelusuri penyebab bencana serta merekomendasikan koreksi kebijakan.

Dengan begitu, status bencana nasional tidak lagi menjadi “kartu yang dihemat”, tetapi bagian dari mekanisme normal sebuah negara yang menghormati nyawa warganya.

3. Menjamin hak atas kebenaran dan pemulihan

Amandemen Kelima juga dapat menegaskan hak rakyat atas kebenaran dalam setiap bencana besar: kebenaran tentang apa yang terjadi, siapa yang mengambil keputusan, dan bagaimana kebijakan akan diperbaiki. Hak ini menjadi dasar lahirnya:

• kewajiban negara melakukan audit kebijakan,

• kewajiban membuka akses informasi,

• dan kewajiban menyediakan jalur hukum yang realistis bagi warga untuk menggugat negara maupun pelaku usaha.

Dari Sumatera untuk Indonesia: Jangan Lagi Menormalkan Bencana

Bencana di Sumatera tidak boleh lagi dilihat sebagai “rutinitas tahunan” yang cukup dijawab dengan bantuan sembako dan tenda pengungsian. Ia adalah alarm keras bahwa cara kita bernegara sedang bermasalah.

Selama konstitusi membiarkan:

• kedaulatan rakyat direduksi menjadi suara lima tahunan,

• tata kelola lingkungan tunduk pada transaksi jangka pendek,

• dan penanganan bencana bergantung pada keberanian politis sesaat,

maka bencana berikutnya hanya soal waktu.

Karena itu, diskusi tentang Amandemen Kelima UUD 1945 harus kita tarik keluar dari ruang akademik yang sempit dan kita letakkan di tengah percakapan publik: di media, di forum warga, di organisasi masyarakat sipil. Pertanyaannya bukan lagi, “Apakah kita siap mengubah UUD?”

Pertanyaan yang lebih jujur adalah:

“Berapa banyak lagi bencana dan nyawa yang harus kita biarkan jadi korban sebelum kita berani membenahi cara negara ini diatur?”

Sumatera sudah berkali-kali mengirimkan pesan. Saatnya negara berhenti gagap, berhenti bersembunyi di balik istilah teknis, dan berani mengakui bahwa akar persoalannya ada pada desain kekuasaan itu sendiri.

Dan di situlah Amandemen Kelima UUD 1945 menemukan urgensi paling konkretnya:

bukan sebagai proyek elitis, tetapi sebagai ikhtiar kolektif untuk memastikan bahwa ketika bencana datang, negara hadir bukan sekadar dengan slogan dan kunjungan singkat—melainkan dengan struktur dan tanggung jawab yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain