Jakarta, Aktual.com – Beberapa tahun setelah mengalami paceklik di sektor pangan dan tidak ingin bergantung pada impor beras Bung Karno datang ke Blitar untuk merayakan panen bersama petani sambil mengenalkan jenis padi baru yang disebutnya Padi Marhaen.
Saking gembira waktu itu Sukarno berpantun: “Siapa bilang saya orang Blitar/Saya ini orang Prambanan/Siapa bilang rakyat Indonesia lapar/Rakyat Indonesia cukup makanan…/Siapa bilang saya dari Blitar/Saya ini orang Bagelen/Siapa bilang rakyat Indonesia lapar/Rakyat Indonesia kini punya Padi Marhaen…”
Blitar tentu sebuah kota yang sangat spesial bagi Sukarno. Di situ dulu kedua orang tuanya tinggal dan di kota kecil yang tenang itu pula ia dimakamkan, meski dalam berbagai kesempatan termasuk di dalam biografinya Sukarno sering berpesan ingin dikebumikan di sebuah tempat yang indah, di bawah sebuah pohon yang rindang yang ditepinya mengalir air sungai yang jernih.
Tempat ini oleh banyak kalangan ditafsirkan sebagai daerah Parahiyangan, dengan dua kemungkinan, yaitu Bandung atau Bogor. Namun oleh Soeharto; Sukarno dijauhi. Makamnya dilarang berada di Jakarta. Soeharto takut kuburan Sukarno menjadi magnit bagi jutaan pecintanya. Sukarno Bapak Bangsa yang hatinya selalu lekat kepada rakyat kecil dan kaum yang tertindas itu rupa-rupanya begitu sangat ditakuti oleh Soeharto, bahkan ketika Sukarno sudah mati.
Sebagai bukti ketakutan itu ajaran-ajaran Sukarno yang esensinya adalah memandu jalan bagi kemerdekaan bangsa berupa kemandirian, kedaulatan, anti neo-kolonialisme dan anti neo-imperialisme, termasuk di dalamnya anti perekonomian neo-liberalisme yang pro asing dan pro aseng sertamerta diberangus oleh Soeharto.
Sukarno dan ajaran-ajarannya seakan dibunuh berkali-kali. Ajaran Proklamator ini dari waktu ke waktu hanya dijadikan romantika yang dipelintir jadi jargon politik dan nasionalisme panggung belaka.
Sukarno dan ajaran-ajarannya kini direduksi menjadi hanya sekedar poster, spanduk, dan janji-janji. Singkatnya, menjadi sekedar omong kosong yang dipakai untuk mengelabui rakyat terutama rakyat kecil, kaum Marhaen yang dulu benar-benar dibela oleh Sukarno.
Sampai hari ini pun Tri Sakti dan Berdikari misalnya, hanya dijadikan kembang kata dan lipstik pencitraan belaka.
Rizal Ramli yang memiliki kemiripan jalan sejarah dengan Sukarno mengaku sangat terbebani, trenyuh, dan sedih, setiap kali berkunjung ke pusara Putra Sang Fajar itu.
Rizal yang oleh banyak kalangan disebut sebagai “Murid Ideologis Sukarno‘” sangat percaya ajaran-ajaran Sukarno sesungguhnya dapat digunakan untuk memakmurkan rakyat, mendamaikan kalbu dan nurani rakyat Indonesia yang esensinya adalah masyarakat yang cinta damai.
Bahkan ajaran-ajaran Sukarno bagi Rizal adalah pedoman bagi bangsa ini dalam tata pergaulan dunia untuk sejajar dan terhormat, mampu berdiri sama tinggi; duduk sama rendah, dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Rizal sedih dan trenyuh, sehingga kepada para wartawan yang mencegatnya seusai tafakur secara khusuk di makam Bung Karno, pada hari Jumat 16 Maret yang lalu, tokoh nasional yang juga orang pergerakan itu mengungkapkan kegundahannya. Rizal mengatakan, di sisa usianya dan menjelang 75 tahun kemerdekaan Indonesia ia masih tidak dapat menerima mengapa bangsa besar yang kaya raya sumber daya alamnya ini masih sangat banyak rakyatnya yang hidup miskin, mengalami ketidakadilan, dan belum dapat benar-benar merasakan kemerdekaan.
Untuk alasan murni dan ikhlas itu pulalah Rizal Ramli beberapa waktu yang lalu menyatakan diri siap memimpin bangsa ini untuk mewujudkan dan melaksanakan cita-cita kerakyatan, cita-cita Sukarno, dan cita-cita dirinya sendiri sebagai pengabdi rakyat yang telah banyak dibuktikannya baik ketika ia berkali-kali menjadi pejabat tinggi negara dan ketika menjadi tokoh yang berada di luar kekuasaan.
Kedatangan Rizal ke pusara Bung Karno yang untuk kesekian kalinya itu adalah ibarat kedatangan seorang anak menemui bapaknya, ibarat seorang murid menemui guru.
Rizal seperti halnya Sukarno adalah anak-anak bandel (baca: patriot nasionalis sejati) yang berani menentang ketidakadilan, melawan kolonialisme-imperialisme-neoliberalisme, anti feodalisme, dan anti korupsi. Kemiripan jalan sejarah menjadi ikatan batin Rizal kepada Sukarno. Sama-sama kuliah di ITB, sama-sama tokoh pergerakan pada kurun waktu yang berbeda, sama-sama dipenjarakan dibui yang sama yaitu penjara Sukamiskin, sama-sama bersahabat erat dengan kaum Nahdliyin yang umumnya merupakan kaum Marhaen, sama-sama seorang humanis yang menghargai sejarah, kebudayaan, dan pluralisme, serta berwawasan internasional dengan visi geopolitik dan geoekonomi yang berorientasi kepada kepentingan bangsa.
Rizal, si anak bandel, patriot nasionalis sejati itu, tafakur di makam Bung Karno. Ia memohon doa kepada Allah dan berterimakasih kepada Sukarno, berdoa untuk bangsa dan negerinya. Di dalam jiwa, hati, dan pikirannya masih terus menyala-nyala gelora semangat dan keinginan yang ikhlas untuk memberikan sumbangsih kepada bangsa dan negerinya, sebagaimana Putra Sang Fajar memerdekakan bangsa dan negerinya.
OLEH: ARIEF GUNAWAN (Wartwan Senior)