Yogyakarta, Aktual.com – Penggalakkan kembali program transmigrasi yang kini terintegrasi dengan program pembangunan desa-desa dinilai masih kerap terhambat oleh kecenderungan tenaga kerja lokal yang lebih memilih bekerja di luar negeri.
Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Yogyakarta, Dr. Sukamdi, M.Sc. mengatakan, upaya mendorong penduduk agar mau bertransmigrasi belakangan menjadi tidak mudah lantaran banyak yang lebih suka bekerja di luar negeri seperti Malaysia, Taiwan, Arab Saudi, Hong Kong dan beberapa negara Asia Timur juga Eropa.
“Bahkan saat harus berhadapan dengan risiko besar seperti pelecehan, kekerasan, hingga kematian, mereka akan tetap memilih bermigrasi ke luar negeri,” kata Sukamdi, di Yogyakarta, Rabu (14/12).
Dirinya mengungkap, menurut data BNP2TKI soal penempatan TKI periode 2011-2015, terdapat lebih dari 2 juta penduduk (2.299.187) yang pergi meninggalkan Indonesia bekerja di luar negeri, belum termasuk jumlah TKI ilegal yang tak memiliki dokumen resmi.
Sementara, data Realisasi Penempatan Transmigran berdasar Provinsi periode 2011-2015 dari Pusat Data dan Informasi Kemendes PDTT, ada 26.989 KK atau 100.452 jiwa yang ikut program transmigrasi, daerah penempatan mayoritas masih di wilayah Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Bagi Sukamdi, ini menyiratkan bahwa ada gap atau jarak angka penempatan yang jauh sehingga membuat program transmigrasi cenderung tidak popular, bermigrasi ke luar negeri dinilai lebih prospek karena ada tawaran pendapatan menjanjikan ketimbang bertransmigrasi.
“Sedari dulu salah satu esensi kebijakan transmigrasi adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk. Tapi, pemindahan penduduk untuk mencapai target jumlah tertentu lebih banyak mewarnai pelaksanaan program transmigrasi,” tambahnya.
Menilik sejarahnya, program transmigrasi kembali diinisiasi mulai tahun 1948. Rencana ambisius disusun, yakni mengurangi jumlah penduduk Jawa dari 52 juta pada 1952 menjadi 31 juta pada 1987. Realisasinya, selama 1950-1959 hanya mampu memindahkan 227.360 jiwa. Target lalu diturunkan, yakni memindahkan 2 juta jiwa selama 1956-1960 atau 400 ribu jiwa per tahun. Namun, target diturunkan lagi menjadi 1,56 juta jiwa untuk periode 1961-1968 atau 195 ribu per tahun.
Karenanya, Sukamdi mengingatkan pemerintah agar tak lagi memakai ukuran kuantitatif, berapa penduduk dari Jawa yang berhasil dipindahkan. Namun, kembali ke tujuan awal perundangan yang ingin meningkatkan taraf hidup penduduk, keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa.
Program transmigrasi wajib didasarkan pada keinginan warga, bukan negara, fokus pada daerah tujuan transmigrasi dengan mengembangkan daya tarik wilayah setempat, selain terintegrasi dengan program pembangunan lainnya.
“Transmigrasi harus disusun sebagai program jangka panjang yang berkesinambungan juga bottom up, yakni berangkat dari kebutuhan di wilayah-wilayah penempatan transmigrasi. Bukan semata-mata guna mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di sana, melainkan juga sebagai bentuk pembangunan yang berkeadilan,” terang Sukamdi.
(Laporan: Nelson Nafis)
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis
Eka