Jakarta, Aktual.com – Ketimpangan penguasaan lahan dalam beberapa tahun ini sangat tinggi. Berdasarkan data indeks gini penguasaan lahan di Indonesia ketimpangan dalam dalam kurun waktu 30 tahun terakhir makin melebar. Untuk itu, pengenaan paja progresif terhadap lahan harus konsisten.
Sebelumnya, pada 1973 data Sensus Pertanian mencatat indeks gini 0,54. Data terakhir di 2013 indeks gini penguasaan lahan menjadi 0,64. “Artinya, sebagian besar lahan dikuasai segelintir orang atau konglomerat kaya,” cetus ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Senin (6/2).
Apalagi berdasar data dari IGJ (Institut Global Justice) juga memperkuat asumsi bahwa ketimpangan lahan semakin tak terkendali. Hingga 2015, terdapat 175 juta hektar atau setara 93% luas daratan di Indonesia yang dimiliki oleh para pemodal swasta dan asing.
“Ada 0,2 persen penduduk, yang menguasai 56 persen aset nasional dalam bentuk kepemilikan tanah itu,” tegasnya.
Dengan adanya masalah ketimpangan lahan yang akut tersebut, kata dia, maka penerapan pajak progresif tanah menjadi sangat urgen untuk dilakukan.
“Kebijakan ini penting karena, fungsi dari pajak progresif tanah ini bisa meningkatkan produktifitas ekonomi. Karena takut dikenai pajak tinggi, maka banyak tanah nganggur yang akan segera dijadikan usaha dadakan atau segera dibangun properti,” paparnya.
Dengan begitu, akan membuka lapangan kerja yang besar. Secara agregat ekonomi juga akan tumbuh.
“Seperti kasus di Denmark bahwa pajak progresif berhasil menambah pasokan rumah baru. Hal ini karena pemilik lahan tidur segera membangun rumah sebelum dikenai tambahan pajak,” papar Bhima.
Selain itu, kta dia, pajak progresif juga penting bagi BUMN dan instansi Pemerintah untuk segera mendayagunakan tanah nganggur diberbagai tempat. “Makanya, dengan pajak progresif ini, aset negara di daerah yang selama ini mangkrak bisa lebih produktif,” pungkasnya.(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid