Ketua Umum BPP HIPMI Bahlil Lahadalia saat memberikan pidatonya dalam diskusi mengenai Freeport di HIPMI Center, Jakarta, Selasa (29/12). Diskusi itu mengangkat tema kegaduhan Freeport untuk siapa?.

Jakarta, Aktual.com – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyesalkan kebijakan pemerintah yang masih menciptakan ketimpangan dan kesenjangan ekonomi dan sosial. Kendati pertumbuhan ekonomi di bawah Presiden Joko Widodo relatif tinggi, tapi percuma kalau ketimpangannya masih lebar.

“Makanya kita butuh revolusi keadilan. Sekalipun pertumbuhan ekonomi kita positif, tahun lalu 5,02 persen, tapi gini ratio (rasio ketimpangan) masih tinggi, sebesar 0,394. Itu sangat bertolak belakang dengan keadilan ekonomi,” cetus Ketua Umum Hipmi, Bahlil Lahadalia, di Jakarta, Jumat (24/3).

Apalagi faktanya, kata dia, 1 persen penduduk nasional masih menguasai 53 persen kekayaan nasional. “Itu sangat timpang dan menyedihkan. Bagaimana peran pemerintah ini? Makanya perlu ada strategi kebijakan pemerintah utk memperkecil masalah itu (ketimpangan),” tutur Bahlil.

Menurutnya, dengan ketimpangan yang masih tinggi itu, maka pertumbuhan ekonomi di angka 5,02 persen itu secara akumulatif, kalau dibedah akan kelihatan segelintir orang saja yang menikmati pertumbuhan itu.

“Kalau kita breakdown yang menikmati ya sedikit orang saja. Kalau tidak diubah, maka trennya akan semakin timpang. Sehingga pemerintah harus memiliki regulasi yang jelas agar tak ada kartel dan monopoli di sektor tertentu. Itu yang jadi pemicu ketimpangan,” papar dia.

Cuma masalahnya, kata dia, jika pemerintah akan meregulasi ketimpangan dengan benar tentu saja akan banyak pihak yang menghalanginya.

“Pasti banyak pihak yang tak suka jika ketimpangan dikurangi, karena selama ini mereka sudah nyaman,” cetusnya.

Di satu sisi, kata dia, pemerintah juga harus bisa menggenjot daya beli masyarakat. Pemerintah jangan lagi berharap terlalu besar dengan pasar internasional, karena saat ini banyak negara yang melakukan proteksi ke negaranya, termasuk Amerika Serikat.

“Ya sudah kita jangan terlalu gantungkan ke ekternal. Apalagi pertumbuhan 5,02 persen itu sekitar 65 persen dikontribusi oleh konsumsi domestik. Makanya daya beli masyarakat harus ditingkatkan. Daya beli itu tinggi kalau ada pendpatan, dan ada pendapatan jika ada lapangan kerja,” pungkas Bahlil.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan