Jakarta, Aktual.com – Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas, menilai persepsi masyarakat terhadap pasal penghinaan parlemen atau “contempt of parliament” cukup berlebihan.
“Pasal 122 huruf (k) UU MD3 hasil perubahan kedua yang mengatur soal penghinaan parlemen, sesungguhnya bentuk pengorganisasian dari kritik dan pengaduan masyarakat ke DPR RI,” kata Supratman Andi Agtas, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (15/2).
Menurut Supratman, dalam pasal 122 huruf (k) tersebut mengatur, kalau ada kritik dan pengaduan ke DPR RI, baik persoalan etika maupun penghinaan, maka DPR RI mewakilinya kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai salah satu alat kelengkapan dewan (AKD).
Kalau dari laporan tersebut ada unsur-unsur yang perlu ditindaklanjuti atau memiliki bukti-bukti kuat, maka akan ditindaklanjuti oleh MKD ke pihak berwajib.
Melalui UU MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) hasil perubahan kedua dari UU No 17 tahun 2014 ini, mengatur dan melembagakan MKD sebagai kuasa anggota Dewan.
“Namun, dalam pasal ini tidak menyebut kalau mengkritik DPR atau anggotanya akan dipidana. DPR tidak anti kritik,” katanya.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra ini menambahkan, pengaturan pasal 122 huruf (k) ini didasarkan pada pengaturan pasal penghinaan terhadap lembaga negara yang diusulkan dalam RUU KUHP yang sedang dibahas DPR RI.
Dalam RUU KUHP, kata dia, diusulkan penghinaan terhadap pejabat Pemerintah yang sedang menjalankan tugas dapat ditindaklanjuti.
“DPR RI adalah salah satu lembaga negara, sehingga juga mengatur pasal penghinaan terhadap parlemen,” katanya.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: