Jakarta, Aktual.co — Mantan ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) Faisal Basri menuding Hatta Rajasa sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional. Kekacauan tersebut bermula pada masa pencalonan Hatta Rajasa menjadi calon wakil presiden 2014 lalu, dimana Hatta melarang ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit hingga akhirnya tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 terbit pada tanggal 12 Januari 2014.

Ketua Komisi VI DPR RI Achmad Hafisz Tohir menilai pernyataan Faisal Basri itu ngawur dan tidak terukur.

“Faisal itu ngawur. Apa yang dilontarkannya merupakan bagian dari upaya menutupi kelemahan Menteri ESDM saat ini yang belum mampu menjalankan UU Minerba,” ujar Hafisz Tohir di Jakarta, Selasa (26/5).

Menurutnya, pelaksanaan UU Minerba merupakan sebuah keharusan untuk meningkatkan nilai tambah dan mampu menyerap banyak tenaga kerja Indonesia.

“Tuduhan Faisal Basri sama dengan tuduhan yang dilontarkan Menteri ESDM yang menyalahkan SBY dalam kasus Petral. Ini bagian pencitraan pemerintah sekarang yang tidak koordinatif,” pungkasnya.

Seperti diketahui, Faisal Basri menuding mantan menteri perekonomian, Hatta Rajasa sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional.

“Hatta Rajasa biang keladinya. Ini tunjuk nama saja deh biar semua jelas,” ujar Faisal Basri.

Namun, apabila melihat peraturan menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 berkaitan dengan pembangunan smelter untuk peningkatan nilai tambah mineral dalam negeri. Dalam Bab III, pasal 5 disebutkan bahwa pemegang IUP Operasi produksi mineral logam dan IUPK operasi produksi mineral logam wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri seusai dengan batasan minimun pengolahan dan pemurnian mineral logam tertentu.

Permasalahan pewajiban pembangunan smelter ini tentu mengingatkan aturan yang ditabrak menteri ESDM, Sudirman Said yang memperbolehkan Newmont dan Freeport melakukan ekspor konsentrat tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu.

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali memberikan kelonggaran pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter) milik PT Freeport Indonesia yang akan dibangun di Papua. Pasalnya, pembangunan smelter Freeport di Papua yang rencananya akan dikerjakan oleh BUMD dan investor China tersebut membutuhkan waktu hingga lima tahun.

“Jadi artinya, bisa saja perencanaan (pembangunan smelter) berubah,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian ESDM R Sukhyar di kantornya, Jakarta.

Ia juga mengatakan, molornya waktu pembangunan smelter tersebut menyebabkan Pemerintah harus merevisi Permen ESDM Nomor 1 tahun 2014 tersebut. Pasalnya, di peraturan tersebut smelter diharuskan rampung pada 2017 mendatang.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka