Pengunjung melihat buku dalam peluncuran buku "Sosok, Kiprah, dan Pemikiran" karya Jimly Asshiddiqie di Jakarta, Sabtu (16/4). Peluncuran buku tersebut sekaligus merayakan ulang tahun Jimly yang ke 60 tahun. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pd/16

Jakarta, Aktual.com — Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menyebut Profesor Jimly Asshiddiqie yang merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi pertama di negeri ini sebagai begawan konstitusi karena memiliki banyak jasa dalam pengembangan hukum konstitusional nasional.

“Begawan konstitusi yang kita kenal ini (Jimly Asshiddiqie) memiliki keahlian, kepiawaian, dan pemikiran-pemikiran progresif di tengah perkembangan hukum dan ketatanegaraan kita hari ini,” kata Zulkifli Hasan di Jakarta, Minggu (17/4).

Ketua MPR menyebutkan hal tersebut saat menghadiri acara syukuran dan peluncuran buku Jimly Asshiddiqie di Aula Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sabtu (16/4), yang juga terkait dengan Hari Ulang Tahun Ke-60 Jimly yang lahir pada tanggal 17 April 1956.

Dalam testimoninya dalam acara tersebut, Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan bahwa dedikasi Profesor Jimly terhadap bangsa dan negara patut diapresiasi serta juga banyak memberi inspirasi.

Ia juga menyampaikan terima kasih atas jasa Prof. Jimly pada saat terjadinya amendemen UUD 1945 yang berlangsung pada periode 1999 sampai dengan 2002.

“Saya sebagai Ketua MPR RI dan lembaga MPR mengucapkan apresiasi dan terima kasih atas kerja sama Prof. Jimly pada waktu itu,” tuturnya.

Menurut Zulkifli, konstitusi sekarang ini mendorong siapa saja dan apa pun latar belakangnya berhak memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadi apa pun di negeri ini, dan Jimly juga berperan dalam hal tersebut.

Selain itu, dia mengingatkan bahwa pada masa awal Mahmakah Konstitusi (MK) berdiri hanya bermodalkan selembar SK (surat keputusan).

“MK belum punya kantor, tetapi dengan Prof. Jimly menjadi Ketua MK, MK menjadi lembaga, yang teman-teman saya bilang adalah lembaga yang paling berkuasa,” ucapnya.

Zulkifli mencontohkan MK yang hanya beranggotakan sembilan orang bisa saja menganulir putusan DPR RI yang beranggotakan 560 orang.

Putusan MK tersebut, lanjut dia, juga bersifat final dan mengikat serta harus dilaksanakan di Tanah Air.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan