Jakarta, Aktual.com – Partai Hanura dibawah kepemimpinan Oesman Sapta mengukuhkan kepengurusan baru periode 2016-2020 di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/2).
Hadir dalam acara tersebut, Presiden RI Joko Widodo, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputeri, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR RI Setya Novanto, dan para pimpinan lembaga maupun partai politik.
Dalam sambutan awal, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta menyapa beberapa Ketua Umum Partai bernada kelakar.
“Yang kami cintai Presiden kelima RI Ibu Hj Megawati Soekarnoputri yang sekaligus juga sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Kalau Ibu sudah senyum saya lega, apalagi kalo Ibu sudah duduk di dekat Pak Jokowi rasanya lebih lega,” ujar Oesman dalam sambutannya.
Pria yang akrab disapa Oso itu sempat menyindir Partai Golkar dan PAN. Dimana, sebagian dari kadernya berpindah haluan ke partai besutan Wiranto itu.
“Memang sekarang zaman berubah banyak partai pindah partai. Saya bangga dengan partai yang pindah-pindah itu, yang penting untuk kepentingan negara. Partai saya pun diambil enggak apa-apa. Tapi kalau dia mau, kalau enggak mau biarkan dengan hati nuraninya,” celotehnya.
Wakil Ketua MPR itu juga menyebut nama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang kini tengah terjerat kasus penistaan agama, dengan sapaan yang tak biasa. Apalagi, Ahok duduk disamping Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj.
“Eh ada Pak Ahok. Pak Ahok duduk sebelah Said Aqil ini tanda-tanda?” sambungnya.
Melanjutkan pidato politiknya, Oso berharap partai Hanura solid dan terus memodernisasi organisasi demi tujuan pendiriannya. Ia menegaskan, harus mengabdi kepada negara bukan kepada orang atau pribadi.
“Solid yang saya maksud bukan saja yang ditunjukkan kader Hanura dalam memilih ketumnya, bukan sekadar dalam menyusun kepengurusan. Solid yang saya maksudkan adalah kesolidan dalam tugas perjuangan mengisi perjuangan bangsa. Itulah kesolidan yang Hanura inginkan, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” jelasnya.
Oso menghimbau, agar perbuatan saling tebar kebencian yang kini tengah terjadi tidak menjadi tradisi. Sumpah serapah dan saling fitnah tidak lagi disertai amarah ideologi. Bahkan kitab suci ditafsirkan menjadi sangat lokalistik dan disesuaikan dengan kepentingan pribadi atau kelompok.
“Saya ajak untuk menghentikan semua ini. Hentikan semua ini satukan bangsa ini bangkit, jaya !,” pungkasnya.
(Nailin Insa)
Artikel ini ditulis oleh: