Jakarta, Aktual.com – Kebijakan memajaki tanah-tanah nganggur dalam skema pajak progresif bisa dianggap baik untuk menggenjot penerimaan negara di saat sumber-sumber lain masih sangat berat. Pasalnya, kesenjangan kepemilikan tanah masih tinggi.

Langkah ini dinilai kebijakan yang tepat ketimbang mengeluarkan kebijakan untuk memajaki simpanan di bank senikai Rp500 juta. Namun yang penting, pemerintah harus konsisten dalam semua kebijakannya.

“Tahun ini bisa dianggap tahun yang tepat karena Pemerintah sedang mencari penerimaan pajak baru paska habisnya periode tax amnesty. Asalkan Pemerintah serius, potensi pajak tanah progresif ini cukup besar untuk menutup kas negara,” papar peneliti INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Senin (6/2).

Untuk itu, kata dia, pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus memiliki data tanah menganggur (unutilized land) yang harus valid.

“Makanya, peran BPN dan pemerintah daerah sangat sentral dalam melakukan pendataan tanah. Jangan sampai salah sasaran dan demi mengejar target tanah milik rakyat ikut dikenai pajak progresif,” papar dia.

Untuk memulai penerapan pajak progresif itu, dia menyarankan menyasar tanah-tanah nganggur di kota besar. “Kenapa di kota besar? Karena harga tanah mahal, alhasil pajak progresif yang ditarik juga besar,” tegasnyan

Apalagi memang jika di kota besar, kata dia, efek ketakutan akan pajak progresif diharapkan sampai ke daerah-daerah. “Jika begitu, pada akhirnya diharapkan ketimpangan bisa turun khususnya ketimpangan lahan,” pungkas Bhima.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka