Jakarta, Aktual.com – Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) mengamati sektor energi nasional menghadapi masalah krusial yang mengganggu persediaan energi nasional, pasalnya PT Pertamina (Persero) yang selama ini menjadi tumpuan untuk memenuhi konsumsi BBM nasional, kini mengalami instabilitas finansial akibat piutang terhadap pemerintah sebesar Rp40 triliun.
Parahnya, meskipun direksi Pertamina telah mengeluhkan dan melaporkan gangguan cash flow ini kepada pemerintah, namun pemerintah tidak kunjung membayar utangnya kepada Pertamina dari berbagai program penugasan yang telah Pertamina jalankan.
Masalahnya, lanjut Direktur CERI, Yusri Usman, pemerintah juga sedang mengalami kesulitan finansial. Hingga Mei realisasi penerimaan negara baru tercapai 33,4 persen atau sebesar 584,9 triliun dari target sebesar Rp1748 triliun. Artinya pemerintah menghadapi ancaman defisit anggaran.
“Tagihan itu sudah diverifikasi, kalau pemerintah punya uang, seharusnya utang itu sudah dikembalikan,” kata Yusri kepada Aktual.com, Rabu (19/7).
Adapun jalan yang paling memungkinkan, pemerintah akan berupaya mendorong Pertamina untuk mencari dana talangan dalam bentuk utang yang tentu bunganya tidak kecil. Lalu Pertamina nantinya diperkirakan akan menekan masyarakat melalui penjualan pruduk BBM dengan harga yang mahal.
“Bisa jadi apabila Pertamina butuh dana untuk menjaga performanya, tentu mencari dana talangan perbankan dan biasanya bunga yang lebih mahal. Atau menunda pembayaran kewajibannya kepada pihak ketiga, akhirnya kontraktor rekanan Pertamina juga akan menerima imbasnya,” pungkas Yusri.
Sebelumnya Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik telah menyatakan mengemukakan permasalahan ini kepada DPR Komisi VII agar mendapat saran dan bantuan mendorong penyelesaian permasalah dengan pemerintah.
“Sebenarnya kami telah melaporkan dalam rapat kordinasi dengan Pak Menko dua kali mengenai kondisi keuangan Pertamina di tahun ini. Khususnya cash flow tagihan kami hampir mencapai Rp 40 triliun ke pemerintah,” ungkapnya kepada Komisi VII DPR, Selasa (6/6).
Berdasarkan pembukuan keuangan Pertamina per 31 Desember 2016, kas dan setara kas perusahaan tercatat USD 5,26 miliar atau setara Rp75,11 triliun. Sehingga, jumlah piutang ini saja sudah melebihi 50 persen dari total kas perseroan hingga akhir tahun lalu.
Selanjunya, belum tuntas beban penugasan yang dipikul Pertamina di sektor hilir, Pertamina juga ditugasi di sektor hulu agar megelola 8 blok terminasi dengan percobaan skema baru Gross Split. Penugasan ini membutuhkan dana investasi yang sangat besar.
Belum lagi ditambah beban investasi alih kelola blok Mahakam yang telah berjalan pada tahun ini, selain memang pertamina juga harus memikirkan perencanaan peningkatan kapasitas dan pembangunan kilang.
Yang pasti, target Pertamina untuk ekspansi ke luar negeri pada tahun 2017 dengan mengakuisisi beberapa blok migas tampaknya akan pupus, hingga memasuki pertengah semester dua, belum ada satupun yang mencapai closing.
Sebelumnya Pertamina sempat berambisi masuk di empat lapangan migas luar negeri yakni dua lapangan di Iran dan dua lapangan di Rusia. Yang mana masing-masing yaitu papangan Ab-Teymour dan Mansouri (Bangestan – Asmari) dan Blok Russkoye dan North Chaivo.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan