Ilustrasi- Seseorang sedang berbuka puasa

Jakarta, aktual.com – Di antara amal istimewa yang dianjurkan di bulan Muharram adalah puasa Tasu’a, yakni puasa yang dilakukan pada tanggal 9 Muharram, sehari sebelum puasa Asyura (10 Muharram). Praktik ini bersumber dari semangat Rasulullah ﷺ dalam menyempurnakan ibadah puasa yang dilakukan pada hari Asyura.

Diriwayatkan dalam hadits sahih bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

«لَئِنْ بَقِيتُ إِلَىٰ قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ»

“Apabila aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa di hari kesembilan (Tasu’a).” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa niat Rasulullah ﷺ untuk berpuasa pada hari Tasu’a merupakan bentuk penyempurnaan ibadah puasa Asyura, yang sebelumnya telah beliau lakukan dan anjurkan kepada para sahabat.

Imam Nawawi, dalam karyanya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (jilid 6, hlm. 383), menyebutkan bahwa para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i maupun lainnya telah mengemukakan tiga hikmah utama dari anjuran puasa Tasu’a:

  • Berbeda dengan Yahudi

Hikmah ini berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbas bahwa orang-orang Yahudi hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram (Asyura), sebagai bentuk peringatan atas keselamatan Nabi Musa ‘alaihi al-salām dari kejaran Fir‘aun. Maka, Rasulullah ﷺ memerintahkan umatnya untuk berbeda dengan mereka dengan menambahkan satu hari sebelumnya, yaitu tanggal 9.

Hal ini juga tercermin dalam sabda beliau:

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود وصوموا قبله يوما وبعده يوما

“Berpuasalah kalian di hari Asyura, dan selisihilah Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”
(HR. Ahmad)

  • Menyambung Puasa Asyura dengan Hari Lain

Dalam syariat Islam, disunnahkan menyambung hari puasa dengan hari lain. Sebagaimana terdapat larangan berpuasa pada hari Jumat secara tunggal, maka demikian pula dianjurkan agar puasa Asyura tidak dilakukan secara sendirian, melainkan disambung dengan Tasu’a.

  • Kehati-hatian terhadap Kesalahan Penanggalan

Dalam perhitungan kalender Hijriah yang bergantung pada penglihatan hilal, bisa saja terjadi kesalahan dalam menentukan awal bulan. Maka, puasa Tasu’a juga dianjurkan sebagai bentuk kehati-hatian. Bisa jadi, hari yang disangka sebagai tanggal 9 ternyata adalah tanggal 10 secara hakikat, sehingga orang yang berpuasa Tasu’a telah memastikan tidak tertinggal dari keutamaan Asyura.

Dengan demikian, puasa Tasu’a merupakan bentuk penyempurnaan ibadah puasa Asyura. Tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga mencerminkan semangat Rasulullah ﷺ dalam membedakan diri dari kaum sebelumnya, menjaga kesempurnaan ibadah, serta sikap hati-hati terhadap kemungkinan kekeliruan dalam hisab.

Puasa Tasu’a dan Asyura adalah bagian dari syiar bulan Muharram yang disebut sebagai “Syahrullāh al-Muharram” (Bulan Allah Muharram). Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

َفْضَلُ الصِّيامِ، بَعْدَ رَمَضانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ، وأَفْضَلُ الصَّلاةِ، بَعْدَ الفَرِيضَةِ، صَلاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram.” (HR. Muslim)

Maka, menyambut Muharram dengan memperbanyak puasa — terutama Tasu’a dan Asyura — adalah bagian dari upaya kita menghidupkan sunnah, meraih keberkahan, serta meneladani kecintaan Rasulullah ﷺ kepada umatnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain