Jakarta, Aktual.com – Per tanggal 1 September 2016, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memberlakukan sistem baru dalam pembayaran iuran kepesertaan untuk Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau peserta mandiri.
Jika sebelumnya peserta mandiri bisa melakukan pembayaran iuran per orang, kini pembayaran harus dilakukan secara kolektif yang mencakup seluruh nama dalam satu Kartu Keluarga (KK) yang terdaftar sebagai peserta mandiri.
“Artinya, setiap bulan, peserta mandiri harus membayar total tagihan seluruh anggota keluarga secara akumulatif,” tandas peneliti kebijakan sosial Perkumpulan Prakarsa, Syukri Rahmadi, di Jakarta, Sabtu (17/9).
Meski tidak memiliki landasan hukum yang jelas, kata dia, BPJS bersikukuh menerapkan aturan ini dengan dalih efisiensi dan efektivitas mekanisme pembayaran sekaligus meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran. Namun aturan ini tak memperhatikan peserta JKN-KIS yang berasal dari kelompok miskin dan hampir miskin.
“Sehingga bagi kami, kewajiban untuk membayar penuh iuran setiap bulan untuk 1 KK (kartu keluarga) sangat membebani rakyat kecil,” katanya.
Menurutnya, aturan ini justru menyulitkan peserta mandiri dari kelompok menengah ke bawah yang tidak lagi bisa mencicil pembayaran iuran BPJS Kesehatan untuk keluarganya sesuai kemampuan dan prioritas kebutuhan.
Justru mekanisme pembayaran iuran BPJS Kesehatan yang baru tidak fleksibel. Meski secara administratif pembayaran kolektif dianggap lebih efisien, namun potensi penurunan kolektabilitas iuran akan sangat tinggi.
“Ketidakmampuan untuk membayar secara kolektif di kelas yang sama akan mengakibatkan penundaan atau bahkan gagal bayar seluruh keluarga,” cetus Syukri.
Dengan menggunakan skema pembayaran yang lama saja, kata dia, di beberapa daerah terjadi tunggakan iuran rata-rata 30-40%. Sehingga dikhawatirkan skema yang baru akan menambah persentase dan jumlah tunggakan.
“Skema pembayaran kolektif melanggar prinsip keadilan karena memberatkan kelompok berpenghasilan rendah yang tidak memiliki kemampuan membayar iuran sekaligus untuk seluruh anggota keluarganya,” tegas dia.
Lebih jauh, menurut Syukri, aturan ini justru akan menyurutkan minat masyarakat mendaftar secara mandiri menjadi anggota JKN-KIS. Mengingat nominal yang harus dialokasikan cukup besar. Terutama untuk kalangan menengah ke bawah, pelaku sektor informal, dan kelompok masyarakat yang penghasilannya tidak stabil.
“Padahal, JKN semestinya bersifat inklusif yang memudahkan akses seluruh masyarakat terhadap jaminan kesehatan, terlepas dari kemampuan ekonomi, jenis pekerjaan, latar belakang pendidikan, maupun determinan lainnya,” tutur dia.
Hingga September 2016 tercatat baru 168,8 juta jiwa terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan dari target 188 juta jiwa di penghujung 2016. Ini berarti cita-cita universal health coverage dan pemenuhan hak atas layanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh dari harapan.
Untyk diketahui, kondisi keuangan BPJS Kesehatan terus mengalami defisit selama dua tahun lalu dan kemungkinan akan terjadi lagi di tahun 2016 ini. Menurut pihak BPJS Kesehatan, terjadinya defisit disebabkan rendahnya tingkat kepatuhan pembayaran iuran peserta.
Data per 31 Desember 2015 tercatat Piutang iuran JKN sebesar Rp2,39 triliun, dan di akhir Juni 2016 ini piutang iuran ini mengalami kenaikan menjadi Rp3,53 triliun.
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby