Jakarta, Aktual.com — Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI, KH Hasyim Muzadi menilai sangat baik kalau Indonesia ikut berusaha mendorong perdamaian antara dua negara yang bersitegang, Arab Saudi dan Iran.

“Sangat baik jika Indonesia mendorong perdamaian dua negara itu (Saudi dan Iran, red). Tetapi kita harus mengamankan NKRI sendiri,” kata ia, kepada wartawan, di Depok, Kamis (7/1).

Ia mengatakan, bahwa upaya perdamaian itu sesuai dengan Preambul UUD 1945 perihal ikut menyelenggarakan perdamaian dunia. Namun yang lebih pokok adalah perlunya Indonesia mengatur langkah konkret guna mengamankan NKRI dari kemungkinan dampak pertikaian tersebut.

Konflik antara Arab Saudi dan Iran kian memanas, terlebih setelah dijatuhinya hukuman Ulama Syiah oleh Arab Saudi.

Mantan Ketua PBNU itu mengungkapkan, Indonesia harus memperkuat ideologi Pancasila yang sekarang mulai remang-remang. Penegakan Pancasila tidak cukup dengan imbauan, namun harus dengan sistem kenegaraan yang menjamin tegaknya Pancasila serta dukungan rakyat.

“Melalui visi keagamaan yang sinergi dengan Pancasila dan dianut mayoritas bangsa Indonesia yakni ahlussunnah wal jamaah (Aswaja),” kata ia menambahkan.

Menurut ia, Aswaja yang selama ini dianut NU dan Muhammadiyah dan lainnya telah terbukti dapat mempersatukan Indonesia sepanjang sejarah. Untuk itu, NU dan Muhamadiyah harus dijaga agar tidak disusupi atau digerogoti ideologi non-Aswaja.

Hasyim menilai untuk pertikaian Arab Saudi-Iran, yang bisa menyelesaikan adalah Amerika Serikat dan Rusia.

“Dalam konteks PBB tentu kita ikut mendorong, namun selebihnya kita perkuat Indonesia,” katanya.

Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ini mengingatkan Indonesia jadi “ring” pertempuran dua kepentingan karena Arab Saudi dan Iran adalah dua kutub ideologi (Wahabi/Sunni dan Syiah ) yang masing-masing kutub punya pendukung transnasionalnya.

Ia mengungkapkan, sejumlah negara seperti Sudan, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam misalnya akan segera mendukung Arab Saudi. Negara-negara tersebut melarang Syiah di negara masing-masing.

Sedangkan Irak, Syria, Libanon, dan Yaman utara kemungkinan akan mendukung Iran. Sedangkan di Indonesia, lanjutnya, dua aliran yang menjadi musuh bebuyutan ini banyak sekali aktivis dan jaringannya.

“Yang diperlukan bagaimana Indonesia tidak menjadi “ring” pertempuran dua kepentingan ini,” katanya.

Dikatakannya selama pertentangan ideologi Wahabi-Syiah itu masih dalam kerangka wacana, akibatnya akan terbatas pada pertentangan psikososial.

Namun, apabila kemudian bersentuhan dengan politik, perebutan kekuasaan, apalagi menjadi bagian dari pertentangan global dan campur tangan negara-negara superpower, eskalasinya bisa jadi lain.

Dikatakannya, masalah ideologi visioner Islam itu akan tenggelam berganti dengan kepentingan politik, hegemoni ekonomi, kepentingan-kepentingan kawasan dan sebagainya.

“Jadi, masalah tersebut tidak lagi bisa disebut semata masalah ideologi walaupun bermula dari ideologi,” kata ia menutup pembicaraan.

Artikel ini ditulis oleh: