Semua manusia ingin hidup bahagia. Banyak pemikir filsafat dan psikologi mencoba merumuskan bagaimana manusia bisa merasa bahagia. Namun, yang mungkin tidak banyak orang tahu, di Jawa ada tokoh, pemikir, dah ahli kebatinan yang telah mengajarkan ilmu bahagia. Dialah Ki Ageng Suryomentaram, yang ajarannya oleh kalangan akademisi di Yogyakarta diharapkan menjadi cikal bakal lahirnya teori psikologi lokal.

Tapi siapakah Ki Ageng Suryomentaram ini? Lahir pada 20 Mei 1892, ia adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ki Ageng memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmadji. Setelah umur 18 tahun, ia diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram.

Awalnya ia bergelar Pangeran Surya Mataram, tetapi kemudian menanggalkan gelar itu dan menyebut diri Ki Ageng Suryomentaram. Hal ini bermula ketika ia pernah turut dalam rombongan jagong manten ke Surakarta. Dalam perjalanan dengan kereta api, ia melihat petani yang sedang bekerja di sawah. Hal ini menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani itu. Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya, seperti Gua Langse, Gua Semin, dan Parangtritis. Lalu ia pergi mengembara di daerah Kroya, Purworejo, sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani dan kuli

Ia menjadi guru aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja (ilmu bahagia)..Salah satu ajaran moral Ilmu Begja yang sangat populer adalah Aja Dumeh, yang artinya jangan sok, jangan menyombongkan diri, dan jangan membusungkan dada, Jangan mengecilkan orang lain hanya karena merasa diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa, atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama.

Pemahaman Ki Ageng tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap dirinya sendiri. Ia menggunakan metode empiris, yang didasarkan pada percobaan-percobaan yang dilakukannya pada dirinya sendiri. Dengan cara merasakan, menggagas, dan menginginkan sesuatu, ia menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia. Ki Ageng mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia, yang dilihatnya sebagai sumber penentu perilaku manusia dalam hidupnya. Ki Ageng juga menunjukkan dasar bagi perilaku manusia dalam dunianya, sehingga antara diri dengan dunia yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan.

Meski memiliki wawasan agama yang luas karena gemar membaca, Ki Ageng tidak pernah berpuas diri, sampai ia memilih keluar dari Keraton dengan menjadi petani di Desa Bringin, Salatiga. Sepanjang hidupnya, ia mencurahkan perhatian terhadap masalah kejiwaan. Ki Ageng melakukan perjalanan spiritualitas dengan pencarian jati diri, untuk mengetahui makna bahagia. Bahagia itu bukan karena mendapat untung, prestasi, atau pengakuan, tapi bejo (beruntung).

Salah satu ajaran Ki Ageng adalah memaknai rasa senang dan tidak senang. Menurutnya, senang atau tidak senang itu bukan fakta, tetapi reaksi kita atas fakta. Manusia itu makhluk dengan rasa. Walaupun ada bermacam rasa, tapi dapat diringkas menjadi dua: rasa enak dan tidak enak. Dalam pergaulan, seseorang harus mengerti rasa dari yang lain. Ketidakpengertian akan menimbulkan rasa yang tidak enak dan akhirnya timbul perselisihan. Karenanya untuk mengerti rasa orang lain, ia harus mengerti rasa diri yang menghalanginya.

Sepanjang hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan. Banyak hasil penyelidikannya tentang diri sendiri yang berupa buku, karangan, atau ceramah. Pengajaran Ki Ageng biasanya berupa ceramah-ceramah yang ditujukan kepada kalangan terbatas dan diberikan dengan cara yang khas, yakni dengan duduk di lantai (lesehan).

Kebanyakan tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian ditulisnya dalam bahasa Jawa, antara lain : Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa?

Cara hidup Ki Ageng Suryomentaram juga menampakkan kesederhanaan, dengan mengenakan celana pendek, sarung yang diselempangkan pada pundaknya, dan memakai kaos. Rambutnya dicukur sampai pendek dan kepalanya dibiarkan tidak tertutup, serta kakinya pun dibiarkan tanpa alas.

Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tengah mencoba mengembangkan teori psikologi dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Berlatar belakang budaya Jawa, ajaran Ki Ageng diharapkan jadi cikal bakal lahirnya teori psikologi lokal. Ki Ageng menciptakan teori psikologi Jawa karena ia orang Jawa. Tapi ajarannya bisa relevan, tidak terbatas bagi orang Jawa saja, karena teori psikologi sebenarnya tidak terbatas pada kewarganegaraan dan letak geografis, apalagi etnisitas.

Tidak mudah mengembangkan ajaran Ki Ageng untuk menjadi teori psikologi, agar bisa diajarkan di perguruan tinggi. Namun, usaha untuk terus mengembangkan teori psikologi lokal ini layak diapresiasi. Pasalnya, sebagian besar teori psikologi yang diajarkan saat ini di Indonesia lebih berkiblat pada teori psikologi Barat, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh psikologi dari bangsa Yahudi. Ki Ageng Suryomentaram wafat tanggal 18 Maret 1962 pada umur 69 tahun, dan meninggalkan warisan ilmu kejiwaan yang sangat kaya. ***

E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com

Artikel ini ditulis oleh: