Ada mata-rantai sejarah yang terputus antara berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) di bawah kepemimpinan Pangeran Diponbegoro hingga awal kebangkitan pergerakan nasionalis di paruh pertama abad ke-20. Menariknya, sosok Kiai Muhammad Sholeh, atau yang kelak popular dengan sebutan Kiai Sholeh Darat Semarang, bisa merajut kembali mata-rantai yang terputus itu.
Taufiq Hakim, dalam bukunya yang cukup informatif dan menggugah, Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad IX-XX, berhasil menyingkap jejaring para ulama nusantara melalui jalinan kisah seputar sejarah kepribadian dan pandangan hidup Kiai Sholeh Darat.
Muhammad Sholeh merupakan putra Kiai Umar bin Tasmin, seorang ulama sekaligus mitra pejuang yang ikut bergabung dalam perlawanan bersenjata yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825-1830 melawan pasukan VOC Belanda yang kala itu menguasai kraton Mataram Yogyakarta.
Melalui fakta sejarah ini saja, Taufiq Hakim sudah satu langkah lebih maju dibandingkan sejarawan Universitas Oxford Inggris Dr Peter Carey yang dalam kajiannya tentang Diponegoro, hanya menyebut peran Kiai Maja sebagai personfikasi dukungan jejaring ulama nusantara dalam Perang Jawa tersebut.
Padahal menurut Taufiq Hakim, Kiai Umar selain penasehat Keagamaan Pangeran Diponegoro, beliau juga prajurit tempur pasukan Diponegoro di kawasan Pantai Utara (Pantura). Berdasarkan fakta sejarah ini, Taufiq Hakim berani berkesimpulan bahwa Kiai Umar kala itu terglong tokoh pejuang dan ulama besar di wilayah Pantura di Jawa pada awal abad ke-19. Mengingat kenyataan bahwa kala itu jejaring para ulama nusantara sudah terkonsolidasi di berbagai daerah di nusantara, maka tidak berlebihan jika Kiai Umar termasuk bagian dari jejaring ulama nusantara itu.
Merujuk pada keterangan Lukman Hakim Saktiawan atau akrab disapa Gus Lukman, salah satu cicit Kiai Sholeh, terungkap bahwa ayahanda Kiai Umar atau Kakek Kiai Sholeh, adalah Tasmin, penduduk Desa Mayong, Jepara. Dan di tempat inilah, Muhammad Sholeh atau Kiai Sholeh Darat lahir, pada 1820. Lima tahun sebelum meletus Perang Jawa.
Informasi menarik lainnya, meski perlu diteliti lebih lanjut, berasal dari Agus Tyanto, cicit-menantu Kiai Sholeh, dengan merujuk pada keterangan Habib Luthfi Pekalongan. Yang menyatakan bahwa leluhur Kiai Umar dari jalur ayah akan menyambung ke Raden Patah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak. Adapun leluhur Kiai Umar dari jalur ibu, menyambung ke Sunan Kudus. Benar tidaknya, memang masih perlu diteliti lebih dalam. Namun bahwa keterangan penting ini muncul dari cicit dan cicit menantu Kiai Sholeh, kiranya tidak bisa kita abaikan begitu saja.
Begitulah. Melalui penyingkapan peran Kiai Umar dalam Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro, terungkap bahwa selain Kiai Maja, nampaknya ada satu lagi Kiai lain, Kiai Umar, yang juga tak kalah penting perannya dalam Perang Jawa yang sangat menguras keuangan Belanda meski akhirnya perlawanan Diponegoro bisa dipatahkan.
Dalam setting sosial-politik peralihan antara situasi pasca Perang Diponegoro menuju kebangkitan gerakan nasionalis pada awal abad ke-20 inilah, Sholeh putra Kiai Umar, bertumbuh dan berkembang mengikuti jejak ayahnya sebagai ulama besar yang masuk dalam jejaring ulama nusantara. Sholeh muda yang kelak popular dipanggil Mhah Sholehh ketika sudah mencapai maqom kiai dan wali pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20,
Maka tak heran jika pada perkembangannya kemudian, ketika Mbah Sholeh telah mencapai maqom ulama besar, sejumlah ulama yang kelak termasuk jajaran para ulama besar berskala nasional, pernah berguru pada Mhah Sholeh. Antara lain Kiai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ihsan Jampes, Kiai Haji Dahlan, Tremas, Kiai Haji Munawir, Krepyak, Yogyakarta, Kiai Haji Idris, Jamsaren, dan Kiai Haji Umar, Solo, Kiai Haji Amir, Pekalongan, dan Kiai Haji,
Jampes, dan lain sebagainya.
Bahkan Raden Ajeng Kartini,putri Bupati Jepara yang kelak kita kenal sebagai simbol emansipasi wanita di tanah air, juga pernah berguru dan mengaji kepada Kiai Sholeh Darat. Surat-surat Kartini kepada para sahabat penanya di negeri Belanda, yang kemudian dibukukan dan diterbitkan atas prakarsa dari Dr Abendanon dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, dalam isi suratnya yang ditulis pada 1903-1904 jelang wafatnya, tulisan Kartini terkesan lebih religius dan tidak terkesan sinis seperti surat-suratnya pada periode-periode sebelumnya.
Kembali ke cerita tentang Kiai Umar, mitra perjuangan Pangeran Diponegoro, kemudian mengungsi ke Mekkah, menyusul tumpasnya Perang Jawa pada 1830. Sekadar informasi. Segera setelah berakhirnya Perang Jawa dan tertangkapnya Pangeran Diponegoro yang kemudian dibuang ke Manado, para mantan prajurit dan anak buah Pangeran Diponegoro umumnya mengungsi ke Jawa Timur seperti Trenggalek, Kediri, Blitar dan Malang.
Adapun Kiai Umar sendiri, tidak jelas kapan persisnya hijrah ke Mekkah, namun menurut perkiraan sekitar tahun 1835. Selama masa hijrah di Mekkah inilah, Sholeh muda berguru ke beberapa ukama sohor di kota ini atas arahan dan bimbingan langsung dari ayahandanya, Kiai Umar.
Singkat cerita, Kiai Umar praktis tinggal hingga akhir hayatnya di Mekkah. Sedangkan Sholeh muda kembali ke bumi nusantara. Yang kemudian menetap di Kampung Mlayu Darat, Semarang. Di sinilah beliau kemudian menetap, dan membangun pusat pendidikan dan dakwah Islam. Maka kelak beliau popular dengan sapaan Kiai Sholeh Darat Semarang. Adapun disebut Darat karena konon kampong ini merupakan tempat mendarat orang-orang dari luar Jawa.
Saat ini, Kampung Mlayu Darat sudah berubah nama menjadi Kampung Dadap Sari. Maka di tempat inilah pria yang bernama lengkap Muhammad bin Umar bin As-Samarani, memulai mengukir legenda dirinya sebagai salah satu ulama besar nusantara. Di Kamoung Mlayu ini Kiai Sholeh mendirikan pesantren seagai pusat dakwah. Menggembleng cikal bakal ulama-ulama terkenal nusantara di abad ke-20.
Ajaran-ajaran keislaman Kiai Sholeh bertumpu pada gabungan antara Fikih dan Tasawuf. Salah satu kitab hasil karyanya yang terkenal adalah Minhajul Atqiya yang kali pertama dicetak di Bombay, India, pada 1905 oleh penerbit Al-Karimi. Kitab lainnya yang beliau tulis adalah Mursidul Wajiz, yang mana kitab ini berisi keterangan tentang guru-guru Kiai Sholeh Darat. Dengan kata lain, beliau melalui kitab ini menjelaskan sanad keilmuan gurunya.
Di dalam kitab Mursidul Wajiz ini, Kiai Sholeh menerangkan bahwa ia belajar (ngaji) kitab Fathul Qarib kepada al-Alamah KH Muhammad Syahid, Kajen, Pati, LH Muhammad Adapun KH Syahid Kajen ini berguru kepada KH Muhammad Nur, Semarang, dan KH Muhyi Kerangan. Melalui KH Muhammad Syahid ini juga, Kiai Sholeh belajar kitab-kitab fikih yang lain seperti Minhaj al Qawim dan Syarb al Khatib.
Melalui Kitab Mursidul Wajiz ini pula, Kiai Sholeh menceritakan pengalamannya mempelajari kitab Jalalain kepada seorang ulama alim dan zuhud, KH Raden Muhammad Sholeh bin Asnawi Kudus. Adapun Kiai Sholeh tersebut juga pernah belajar kepada KH Muhammad Nur Semarang dan kepada ayahandanya sendiri KH Asnawi Kudus.
Kiai Sholeh juga pernah berguru kepada Kiai Ishaq, Damaran, Semarang. Kepada Kiai Ishaaq Kiai Sholeh belajar tentang Ilmu Nahwu dan Shorof. Di kota Semarang ini pula, Kiai Sholeh pernah belajar kepada KH Muhammad al Hadi bin Baquni. Kepada Kiai Abdillah ini, Sholeh Darat belajar tentang Ilmu Falak. Kelak Kiai murid Kiai Sholeh Darat yang juga ahli di bidang Ilmu Falak, adalah KH Dahlan, Tremas. Dan seterusnya dan sebagainya. Uraian seterusnya yang lebih rinci bisa dibaca dari buku karya Taufiq Hakim tadi.
Rata-rata para ulama yang menggembleng jiwa intelektual dan spiritual Kiai Sholeh Darat merupakan kiai-kiai berjiwa pejuang. Dan pernah terlibat secara langsung dalam pertempuran melawan penjajah Belanda dalam Perang Jawa 1825-1830. Dari sinilah Kiai Sholeh Darat jadi bagian dari jejaring para ulama nusantara. Salah satunya adalah Kiai Murtadlo, yang kelak mernjadi ayah mertua Kiai Sholeh. Kiai Murtadlo yang punya pesantren di Darat Semarang, juga merupakan salah satu mitra perjuangan Pangeran Diponegoro selain Kiai Umar, ayahanda Kiai Sholeh.
Meski pernah hidup dan mukim di Mekkah, Kiai Sholeh tidak larut menjadi kearab-araban. Melainkan sangat kuat dorongannya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal atau tradisi lokal nusantara. Sehingga terbangun Islam yang kontekstual dengan alam tradisi nusantara, yang dalam hal Kiai Sholeh, berarti menyelaraskan nilai-nilai islam dan Jawa.
Dengan mengintegrasikan Fikih dengan Tasawuf, maka ajaran Syariat (Fikih) di tangan Kiai Sholeh Darat tidak terasa kering karena dibasahi dengan mata air tasawuf. Melalui tasawuf ini pula, ajaran Kiai Sholeh Darat dapat bersanding secara harmonis dengan nilai-nilai dan kebijaksanaan lokal (Local Wisdom).
Hendrajit, redaktur senior.