Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, bersama stafnya Sunny Tanuwidjaja, tampil bersaksi di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin (25/7/2016). Ahok dan Sunny bersaksi untuk terdakwa mantan Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro, dalam kasus suap terkait rancangan peraturan daerah (Raperda).

Jakarta, Aktual.com – Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dianggap banyak sampaikan kebohongan saat beri kesaksian di sidang Tipikor, Senin (25/7). Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) Abdul Halim berpendapat seperti itu, lantaran Ahok dianggapnya berlindung di balik alasan-alasan yang tidak prinsipil saat beri kesaksian.

“Untuk melegitimasi proyek reklamasinya,” kata Halim, dalam pernyataan tertulis, Selasa (26/7).

Ujar Halim, di persidangan Ahok berdalih sudah mengikuti aturan perundangan yang menjadi dasar hukum keluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur izin pelaksanaan reklamasi. Bahkan dia sesumbar yang berhak membatalkan reklamasi adalah presiden bukan menteri.

“Alasan dia (Ahok), dasar dari proyek reklamasi adalah Peraturan Presiden No. 52 Tahun 1995 yang tidak bisa dibatalkan oleh Peraturan Menteri,” ujar Halim.

Selain itu, menurut Halim, dalam kasus reklamasi Ahok juga seperti selalu dicitrakan sebagai pihak bersih yang bebas dari korupsi. Padahal jika membaca putusan Pengadilan Tata Usana Negara (PTUN) DKI yang membatalkan izin Pulau G, Ahok jelas telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai gubernur untuk memberi keuntungan pada korporasi.

Karena alasan itu, menurut Halim, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak menangkap Ahok berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Di dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tipikor, disebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)“.

Sedangkan di Pasal 3 UU Tipikor disebutkan: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)“.

Ahok diketahui mengeluarkan empat SK Gubernur untuk izin pelaksanaan reklamasi. Yakni SK untuk Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera. SK izin pelaksanaan Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo (22 Oktober 2015), izin pelaksanaan Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci (22 Oktober 2015), dan Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol (17 November 2015).

Artikel ini ditulis oleh: