Jakarta, Aktual.com — Setelah sebelumnya Aktual.com membahas tentang cara mandi sehat ala Rasulullah SAW, selanjutnya Aktual.com akan membahas tentang tata cara mandi wajib seperti junub (atau setelah besenggama dengan istri, red).
Dalam junub ini diwajibkan mandi dua hal yaitu,
A. Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun bangun
Dan dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat. Yaitu , jika menurut Syafi’i, jika mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada bedanya, baik keluar karena syahwat maupun tidak.
Sedangkan, menurut Hanafi, Maliki dan Hambali, tidak diwajibkan mandi kecuali pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin atau karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak diwajibkan mandi. Tapi jika mani sudah terpisah dari sulbi lelaki atau dari tulang dada wanita dan mani belum sampai pindah keluar (pada yang lain), maka ia tidak diwajibkan mandi, kecuali menurut Hambali.
Yang menjadi perbedaan pendapat ini adalah, apabila orang sudah sadar (bangun), lalu ia melihat basah, tetapi ia tidak mengetahui apakah yang basah itu mani (atau madzi). Oleh karena itu, jika menurut Hanafi orang tersebut wajib mandi, akan tetapi menurut Syafi’i dan Imamiyah, tidak wajib, karena suci meyakinkan, sedangkan hadas meragukan.
Sedangkan, menurut Hambali, kalau sebelum tidur ia telah memikirkan hal-hal yang nikmat (berpikir tentang yang porno, red) maka ia tidak diwajibkan mandi, tapi kalau sebelum tidur tidak ada sebab (gejala) yang menimbulkan kenikmatan, maka ia diwajibkan mandi, karena basah yang tidak jelas tersebut.
B. Bertemunya dua kemaluan (bersenggama)
Memasukkan kepala kemaluan pria atau sebagian dari hasyafah ke dalam faraj (kemaluan), maka semua Ulama mazhab sepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani. Hanya mereka berbeda pendapat tentang beberapa syarat yaitu apakah kalau tidak dimasukkan, yakni sekedar saling sentuhan antara dua kelamin itu, diwajibkan mandi atau tidak?
Jika menurut Hanafi, wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat yaitu, pertama baligh. Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanyalah yang baligh saja.
Dan, kalau keduanya sama-sama kecil, maka keduanya tidak diwajibkan mandi. Kedua, harus tidak ada batas yang dapat mencegah timbulnya kehangatan. Ketiga, orang yang di setubuhi yaitu, orang yang masih hidup, maka kalau ia memasikan kemaluannya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal maka ia tidak diwajibkan mandi.
Sedangkan Syafi’i, sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja belum masuk, maka ia sudah cukup diwajibkan mandi, tak ada bedanya, baik baligh maupun tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada batas maupun tidak, baik terpaksa maupun karena suka, baik yang disetubuhi masih hidup maupun sudah meninggal, baik pada binatang maupun pada manusia.
Lain lagi dengan Hambali dan Maliki, bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib mandi, kalau tidak ada batas yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya, baik pada hewan ataupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu hidup atau meninggal.
Kalau yang telah baligh menurut Maliki, bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi, kalau ia telah mukallaf dan juga orang yang disetubuhi. Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya telah baligh, tapi kalau belum baligh (atau masih kecil), maka ia tidak diwajibkan mandi kalau belum sampai keluar mani.
Sedangkan Hambali, mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetubuhi itu usianya tidak kurang dari 10 tahun, bagi wanita yang di setubuhi itu tidak kurang dari 9 tahun.
Akan tetapi, walaupun terjadi perbedaan di antara empat madzhab tersebut. Alangkah, baiknya kita tetap melakukan mandi junub tersebut karena Allah SWT telah berfirman dalam Al Quran dan Rasulullah SAW pun juga telah memerintahkan untuk melakukan mandi junub. Allah SWT befirman,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya, “Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang taubat, dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”(Al-Baqarah : 222).
وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
Artinya, “Janganlah menghampiri Masjid, sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, sehingga kalian mandi.”(An-Nisa : 43).
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya, “Dan jika kalian dalam keadaan junub, maka mandilah.”(Al-Maidah : 6)
Dan, Rasulullah SAW pun bersabda,
لاَتُقْبَلُ صَلاَ ةٌ بِلاَ طُهُوْرٍ
Artinya, “Allah SWT tidak menerima salat seseorang yang tanpa thoharoh (bersuci).”(HR. Muslim)
Dan, selain dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, maka diperkuat lagi hukumnya akan madi junub dengan suatu Hadis saat Ummu Sulaim bertanya kepada Rasulullah SAW,
يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحي مِنَ الحَقِّ هَلْ عَلَى المَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ اِحْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: نَعَمْ إِذَا رَأَتْ المَاءَ
Artinya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran (maka aku pun tidak malu untuk bertanya). Apakah wanita wajib mandi bila bermimpi ? Rasulullah SAW menjawab,“Ya, apabila ia melihat air mani setelah ia bangun.”(Muttafaqun Alaih).
Dari Ali R.a, bahwasannya Rasulullah SAW pernah berkata,
مَنْتَرَكَمَوْضِعَشَعْرَةٍمِنْجِنَابَةٍلَمْيُصِبْهَااْلمَاءُفَعَلَ اﷲُبِهِكَذَاوَكَذَامِنَالْنٌارِ
Artinya, “Barangsiapa membiarkan janabat seluas tempat seutas rambut tanpa dikenai air, maka Allah SWT akan mengazabnya dengan sekian dan sekian api karenanya.” Bersambung…….
(Sumber: Fatawa Arkanul Islam, Kitab Shahih Bukhari, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah).
Artikel ini ditulis oleh: