Jakarta, Aktual.com — Tidak ada habis-habisnya dibahas kehidupan bertoleransi di Indonesia, karena masalahnya sensitif dan aktual sehingga jika direnungkan sepanjang 2015, dialog pada forum umat beragama di negeri ini bagai pekerjaan menyaksikan deburan ombak air laut bersuara nyaring.
Masalah antarumat beragama yang diangkat media massa, media sosial dan elektronik, selain memang aktual juga di situ adalah wilayah sensitif. Pasalnya, ada persoalan akidah atau keyakinan yang menjadi hak asasi bagi setiap pemeluk agama di Tanah Air.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama (Kemenag) beberapa tahun silam pernah mengklaim sebagai negara bertoleransi yang terbaik di dunia. Lantas, bagi pihak lain, kehidupan bertoleransi antarumat beragama itu dijadikan sebagai bahan promosi ke seantaro jagad, untuk kepentingan jaminan bagi wisata religius dan kepentingan lebih luas lagi.
“Kerukunan umat beragama di Indonesia ini yang terbaik di dunia dan mengalami kemajuan dari tahun ke tahun,” kata Suryadharma Ali, kepada wartawan, ketika menjabat sebagai Menteri Agama dengan nada sesumbar di Sabuga Bandung, Senin (26/8).
Pernyataan itu menggambarkan bahwa kehidupan antarumat beragama di Tanah Air tidak ada masalah. Namun harus diakui sejujurnya bahwa sampai saat ini masih ada pihak tidak mengakui tegaknya toleransi kehidupan beragama di Indonesia.
Beruntung bagi pemerintah bahwa dalam keterbukaan informasi dapat dijelaskan prihal kehidupan antarumat agama seterang-terangnya, termasuk kehidupan bertoleransi yang sejatinya menjadikan negeri ini kokoh dengan corak kebhinekaan.
Toleransi (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dimaknai sebagai toleran/to-le-ran/ bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan intoleransi tentu lawan dari makna itu, yaitu tidak tenggang rasa; tidak toleran.
Jadi, sangat logis, tanpa toleransi tidak akan tercipta kedamaian. Kedamaian akan membawa pada ketentraman antarsesama warga yang tentu saja berpengaruh bagi kehidupan. Dengan suasana seperti itu, wisatawan pun akan merasa nyaman menikmati keindahan Bumi Pertiwi ini. Ujungnya, ada keyakinan bagi pihak luar bahwa Indonesia laik sebagai tempat menanamkan modal dan mendorong sektor ekonomi berkembang.
Kini semua pihak menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang multikultur, multietnis dan multirelijius. Membangun toleransi kehidupan beragama sangatlah penting di tengah dinamika kehidupan beragama. Dalam internal agama-agama, misalnya ada beragam paham-aliran. Demikian pula antaragama, praktik hubungan antaragama berjalan dinamis (cepat berubah), meski kadang ada gesekan/konflik, kata Kabalitbang-Diklat Kemenag, Abd Rahman Mas’ud.
Pernyataan Mas’ud itu disampaikan pada Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan di Gedung Lemhanas Jakarta (6/10/2015). Ia menilai, meski ada gesekan tetapi semua itu teratasi. Interaksi antarumat berjalan baik. Berdasarkan survei nasional kerukunan umat beragama oleh Balitbang-Diklat Kemenag menunjukkan, bahwa indeks kerukunan nasional = 3,67 yang berarti cukup harmonis.
Bahwa ada kasus-kasus intoleransi di beberapa titik itu perlu penanganan tetapi gambaran nasional sesungguhnya cukup baik.
Fokus kerukunan Kementerian Agama (Kemenag) selama ini tengah menjalankan tiga fokus kebijakan terkait kerukunan umat beragama yakni, Pelayanan dan Perlindungan Umat Beragama, Pemberdayaan Masyarakat, Pemuka Agama dan Lembaga Keagamaan dalam menjaga kerukunan, serta penguatan regulasi dan bimbingan di bidang kerukunan umat beragama sebagai bagian dari kerukunan nasional.
Upaya-upaya yang telah dilakukan Kemenag dalam pemeliharaan kerukunan, yaitu dengan kegiatan dialog multikultural, pembinaan keagamaan melalui para penyuluh-penyuluh agama, sosialisasi penguatan integrasi degan revitalisasi kearifan lokal untuk mendukung kerukunan, dan penanganan/resolusi konflik.
Ia mengakui bahwa pendirian rumah ibadat di sebuah daerah masih ada yang belum direspon oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Hal ini belakangan menjadi sorotan publik. Katanya, jika telah memenuhi syarat administratif, daftar pengguna 90 orang dan dukungan warga 60 orang serta rekomendasi Kemenag dan FKUB setempat sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PMB) No 9 Tahun 2006/No 8 Tahun 2006, maka Pemda wajib merespon paling lambat 90 hari. Jika belum ada titik temu, perlu ada upaya-upaya dialog.
“Negara berkewajiban hadir melalui Pemda dengan mengedepankan semangat dialog untuk kerukunan. Pendekatan sosio-kultural juga perlu dilakukan oleh pemohon dalam hal ini agar tidak asing di lingkungan masyarakat sekitar rumah ibadah,” ujar Mas’ud.
Kerukunan umat beragama dan toleransi beragama merupakan kondisi dinamis. Untuk itu, perlu dilakukan upaya yang berkesinambungan untuk mempertahankan kondisi rukun, sambil menyelesaikan secara bertahap kasus-kasus yang ada.
Dibutuhkan payung hukum agar perubahan yang terjadi tetap dalam koridor NKRI. Artinya, perubahan yang terjadi tidak mengarah kepada anarkhis sebagai dampak radikalisme.
Semua pihak tentu prihatin dengan kekerasan demi menegakkan ajaran agama. Padahal, setiap agama tidak mengajarkan kekerasan. Kekerasan dilarang setiap agama. Namun, umat beragama dengan militansi menegakkan agama seringkali mengabaikan toleransi. Wajah kekerasan ditonjolkan. Bahkan, paling ekstrem, diwujudkan dalam bentuk aksi terorisme.
Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahman, Jumat (10/4/2015) mengingatkan, memburuknya toleransi beragama ini tidak hanya sehubungan dengan jumlah kasus tetapi juga kualitas tindak pelanggaran kebebasan beragama.
Perlindudngan Umat Terkait hal itu Imdadun pun menyayangkan tidak masuknya Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2015-2019. Padahal aturan tersebut sangat penting dalam melindungi umat beragama.
Sementara itu Ketua Komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengaku tak tahu alasan mengapa RUU PUB, tidak masuk dalam Prolegnas 2015. Menurutnya, yang menentukan lolos-tidaknya sebuah draft RUU menjadi prolegnas adalah kewenangan Badan Legisatif (Baleg) DPR. Karena RUU PUB merupakan ide dari Kemenag, maka seharusnya Kemenag lah yang mengusulkan kepada baleg DPR agar RUU PUB masuk ke dalam Prolegnas 2015. Dan bukan Komisi VIII yang mengusulkan. Jika sudah diloloskan di baleg maka komisi VIII akan membahasnya.
Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri (KLN) Kemenag, Achmad Gunaryo mengaku RUU PUB tak masuk Prolegnas. Namun alasan detailnya belum diketahui. RUU PUB itu, katanya, sampai saat ini pembahasannya masih “seru”, sejumlah istilah yang digunakan masih menjadi perdebatan. Ia memberi contoh ada pihak yang risau jika digunakan kata perlindungan umat beragama, ada yang tidak setuju dengan istilah kerukunan antarumat beragama.
Esensi dari UU PUB itu mengatur perilaku umat. Bukan mengatur ibadah yang dianut oleh masing-masing agama. Ia mengakui pula bahwa RUU ini sensitif. “Tapi, dari sisi konten, RUU PUB sudah selesai. Saya yang ditugasi, sudah menyelesaikannnya. Materi RUU PUB sudah ditangan Sekjen Kemenag,” ungkap Gunaryo dan berharap pada tahun 2016 RUU PUB itu dapat diselesaikan.
Ia menilai UU PUB sangat penting. Meski Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler,” kata Gunaryo. Menjaga toleransi sangat penting sebagaimana ditegaskan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saefudin pada kesempatan menerima Duta Besar Amerika Serikat (USA) untuk Indonesia Robert O Blake di Jakarta, belum lama ini.
Lukman mengatakan, Indonesia bukan negara Islam juga bukan negara sekuler yang memisahkan relasi agama dan negara.
Meski sebagai mayoritas beragama Islam, katanya lagi, namun Indonesia bukan negara Islam. Juga bukan negara sekuler yang memisahkan relasi agama dan negara. “Itulah salah satu kekhasan negara kami,” kata Lukman.
Penegasan Lukman itu bisa dimaknai sebagai primosi bahwa toleransi beragama di Indonesia berjalan baik. Di berbagai kesempatan ia kerap mengulang pernyataan tersebut. Namun harus diakui masih ada peristiwa intoleransi “lama” yang memilukan bangsa dan sampai saat ini belum terselesaikan tuntas, seperti di Tolikara, Papua, dan Aceh Singkil, Provinsi Aceh, persoalan Ahmadiyah, Syiah Sampang, Gereja Yasim Bogor, yang memerlukan penguatan kerukunan. Untuk itu, payung hukum yang mengatur kehidupan antarumat beragama sudah jelas dibutuhkan bagi umat.
Artikel ini ditulis oleh: