Jakarta, aktual.com – Kinerja sejumlah perusahaan konstruksi pelat merah kembali menjadi sorotan setelah laporan keuangan terbaru menunjukkan kesenjangan yang makin lebar antar-BUMN karya. Di tengah situasi itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menilai persoalan utama justru bermula dari kebijakan penugasan yang sangat besar sejak era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

“Akibatnya, banyak BUMN Karya yang goyah. Waskita Karya misalkan yang mencatatkan kerugian,” kata Huda ketika dihubungi, Senin (24/11/2025).

Ia mengatakan percepatan pembangunan infrastruktur berjalan tanpa mempertimbangkan kemampuan keuangan perusahaan negara yang mendapat tugas tersebut. Menurutnya, percepatan itu dijalankan sementara kepastian pendanaan dari pemerintah tidak selalu mengikuti ritme pekerjaan di lapangan.

“BUMN Karya diminta mengebut, tapi pembayarannya tidak jelas,” ujar Huda.

Kondisi tersebut, kata dia, membuat banyak perusahaan konstruksi negara berada di posisi genting. Waskita Karya menjadi salah satu contoh paling nyata karena hingga September 2025 mencatat rugi Rp 3,17 triliun, naik dibandingkan tahun sebelumnya.

Ia menilai situasi ini berkaitan langsung dengan pola penugasan yang tidak memperhitungkan daya tahan keuangan perusahaan. “Selama ini penugasan banyak berdampak negatif ke kinerja perusahaan,” ucapnya.

Ia menambahkan bahwa indikatornya dapat terlihat dari adanya perusahaan yang sampai dipailitkan dan sejumlah lainnya yang bergerak naik turun secara keuangan. Laporan keuangan 2025 memperlihatkan tekanan serupa juga dialami perusahaan lain.

WIKA berbalik dari laba menjadi rugi Rp 3,21 triliun, sementara PTPP harus menerima penurunan laba tajam hingga hanya mencapai Rp 5,55 miliar. ADHI pun mengalami penurunan signifikan dengan laba sekitar Rp 4,4 miliar.

Di sisi lain, ada BUMN karya yang masih melaju seperti Hutama Karya yang meraih pendapatan Rp 11,6 triliun pada semester pertama, Brantas Abipraya dengan pertumbuhan pendapatan hingga Rp 13,37 triliun, serta Nindya Karya yang menargetkan laba Rp 120 miliar pada tahun ini.

Huda menilai perbedaan kondisi tersebut semestinya menjadi bahan evaluasi pemerintah dalam mempertimbangkan arah restrukturisasi maupun wacana konsolidasi BUMN karya. Ia menegaskan penyatuan perusahaan bukan langkah yang bisa diambil tanpa mengukur risiko.

“Kesehatan BUMN harus dilihat dulu,” katanya singkat.

Ia mengingatkan agar proses konsolidasi tidak justru menyeret perusahaan yang masih sehat sehingga terbebani oleh yang sedang bermasalah. Huda juga mengkritisi pola proyek strategis yang terus diberikan kepada BUMN, sehingga ruang bagi swasta untuk berperan dalam pembangunan infrastruktur menjadi sempit.

Menurutnya, perlu ada kesempatan lebih merata agar kontribusi swasta dapat ikut memperkuat sektor konstruksi nasional.
Ketimpangan kinerja antarperusahaan pelat merah ini membuat berbagai pihak kembali mempertanyakan arah kebijakan pemerintah ke depan.

“BUMN yang selalu kebagian proyek strategis memang tidak memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk berkontribusi terhadap proyek infrastruktur pemerintah,” kata dia.

Di tengah tekanan keuangan yang belum mereda dan kebutuhan pembangunan yang masih besar, wacana merger BUMN karya menjadi salah satu opsi yang terus dipertimbangkan, meski efektivitasnya belum dapat dipastikan sebelum kesehatan masing-masing perusahaan benar-benar dipulihkan.

“Jangan sampai, BUMN karya yang sehat justru jadi sakit karena terbebani keuangan dari BUMN yang sakit,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain