Menteri BUMN Rini Soemarno memberi salam kepada wartawan seusai memberikan keterangan terkait masalah Pertamina dengan PLN di Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (7/1). Rini menilai perselisihan antara Pertamina dengan PLN terkait harga pembelian uap panas bumi untuk tiga unit Pembangkit Listrik Panas Bumi Kamojang, Jawa Barat hanya salah paham dan akan dicarikan solusi terbaik untuk kedua pihak. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/16.

Jakarta, Aktual.com — Banyaknya regulasi yang mesti diikuti oleh perusahaan pelat merah telah berdampak pada kinerja BUMN yang lambat. Terutama terkait kebijakan dalam pengambilan keputusan.

“Aturan yang dipegang BUMN sangat rigit (kaku). Karena sedikit-sedikit salah dianggap menyalahkan keuangan negara,” keluh Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian BUMN, Gatot Trihargo, di Jakarta, Rabu (27/1).

Kinerja BUMN sendiri memang banyak diatur oleh UU. Karena aset BUMN memang dianggap sebagai keuangan negara yang dipisahkan. Selain mengikuti UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas (PT), juga harus mengikuti UU Keuangan Negara, dan banyak UU lainnya. Sejatinya banyaknya UU ini bagus untuk kinerja BUMN, agar tidak mudah disalahgunakan. Tapi oleh Kementerian Rini dianggap mengganggu.

“Jadi ada ketakutan dalam kerugian keuangan negara. Sehingga mereka (BUMN) dalam pengambilan keputusannya agak lambat. Tidak seperti swasta yang cepat,” tandas Gatot.

Untuk itu, kata Gatot, kementerian Rini ini terus melobi pihak penegan hukum, agar atyran yang ada itu tidak membebani para direksi BUMN. “Kami selalu datangi mereka (aparat penegak hukum) supaya mereka welcome. Tapi regulasi kita memang terlalu banyak. Terlalu rigit,” keluhnya lagi.

Ke depan, ia menargetkan, akan membuat aturan sehingga keputusan manajamen direksi itu aman dalam membuat keputusan. Tidak besar lagi tekanan atas kerugian negara tersebut. “Masalahnya lagi, pemahman mereka (aparat hukum) masih ada perbedaan satu sama lain,” katanya lagi mengeluh.

Menurut dia, saat ini kondisi BUMN dari total 118 bumn ekuitasnya hanya sebanyak Rp800 triliun atau sekitar US$ 70 miliar. Jika dibandingkan dengan perisahaan di Fortune500 seperti Shell atau BP enuutas BUMN kalah jauh.

“Untuk empat bamk BUMN saja, jika digabung ekuitasnya hanya US$ 20 miliar. Masih kalah dari DBS atau UOB. Singapur yang kecil tapi kapitalisasinya luar biasa,” katanya.

Ke depan, ia berharap, BUMN tidak seperti bonsai kecil yang susah untuk bertumbuh. “Sehingga tidak dapat berkontribusi terhadap perekononian nasional,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan