Jakarta, Aktual.com — Komisi VIII DPR RI meminta Presiden Joko Widodo untuk berhati-hati di dalam melakukan reshuffle kabinet. Pasalnya, ada banyak Menteri yang kinerjanya banyak dipublikasi di media, sementara dalam tataran realitas tidak ‘membumi’ (menghasilkan kerja nyata, red).
Wakil Ketua Komisi VIII, Deding Ishak menilai Menteri seperti ini lebih memikirkan pencitraan ketimbang pelayanan. Sebagai mitra kerja, ia menilai, Menteri Agama Lukman Hakim saifuddin kinerja paling mengewakan.
“Mitra Komisi VIII ada juga yang begitu. Sebut saja, Menteri Agama. Menurut penilaian kami, pak Lukman ini besarnya di media saja. Kerjanya, mohon maaf, banyak yang mengecewakan,” ujar Deding, kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (8/1)
Dalam pandangan Komisi VIII, lanjut Deding, ada tiga pekerjaan besar yang harus dituntaskan Menteri agama, yaitu kerukunan, pendidikan, dan Haji. Namun, kata dia, ketiga hal ini masih jauh dari harapan.
“Dalam bidang kerukunan, di tahun 2015 saja ada beberapa kasus yang menyita perhatian. Katakanlah, kasus tolikara dan kasus Singkil. Kedua kejadian itu tidak bisa diredam. Andai kata Menag memiliki data rawan konflik agama, tentu kedua kejadian itu tidak mesti terjadi,” paparnya menambahkan.
“Begitu juga dengan kasus dua Minggu terakhir ini ada kasus terompet bekas cetakan Al Quran milik Kemenag. Ada juga kasus menari di atas sajadah pada saat HAB Kemenag yang menyinggung perasaan umat,” ungkap ia.
Politisi Golkar ini mengatakan, dalam bidang pendidikan, Menteri Lukman tidak terlihat melakukan terobosan. Program dan kegiatan yang ada hanyalah formalitas dan kelanjutan dari periode sebelumnya. Pengelolaan Pondok Pesantren, Madrasah, dan Perguruan Tinggi agama jauh dari kata memuaskan.
“Bahkan yang terlihat secara kasat mata, banyak aspirasi dan masukan masyarakat yang disuarakan lewat DPR tidak dilaksanakan,” beber ia.
“Belum lagi, soal gaji guru honorer, tunjangan profesi guru, kasus guru K1 dan K2 yang tidak jelas, dan penyaluran dana bos yang sering terlambat. Ini temuan real di lapangan dan juga berdasarkan pengaduan masyarakat.” cetus Deding
Selain itu, kata Deding, dalam mengurus Haji, kegagalan Menag terlihat dengan jelas pada saat pengurusan visa jemaah. Deding menuturkan banyak jemaah yang terpisah dengan istri, orang tua, dan keluarganya akibat kasus itu.
“Walaupun pada akhirnya selesai, tapi itu bukan karena kerja Menag, tetapi karena bantuan Kedubes Saudi yang memberikan keringanan bagi jemaah Indonesia dalam melengkapi persyaratan yang diinginkan,” ungkapnya.
Sementara itu, untuk mengurus korban Mina, Menag juga terlihat tidak sigap. Misalnya, Menag tidak bisa langsung membuka akses. Jika negara lain bisa mendapat akses tentang jumlah korban sesaat setelah kejadian, Menag baru bisa mengetahuinya dua hari kemudian.
“Di sini terlihat jelas lemahnya diplomasi Indonesia di mata pemerintah Saudi. Apalagi soal sarana di Armina. Karpet, klinik, dan tenda, jemaah Indonesia selalu mendapat yang kurang baik,” jelasnya.
Deding menambahkan presiden tentu bisa melihat dari hasil penilaian kinerja mitra kerja tersebut untuk kemudian melakukan evaluasi.
“Data seperti ini disampaikan, bukan untuk menghalangi kerja pemerintah. Justru sebaliknya, kami ingin membantu Presiden untuk melakukan evaluasi secara objektif. Harapannya, ke depan sinergi antara komisi VIII dengan Kemenag dapat berjalan dengan baik,” tandasnya.
Artikel ini ditulis oleh: