Jakarta, Aktual.com – Forum Pajak Berkeadilan menilai kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dari skala 1-10 hanya di angka 6. Masih banyaknya aksi penghindaran pajak (tax avoidance) dianggap menjadi kelemahan besar dari DJP.
“Kinerja perpajakan masih belum memuaskan. Kalau kita kasih skor dari skala 1-10, cuma 6, tidak merah tapi tidak memuaskan,” sindir Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan yang merupakan bagian dari Forum Pajak Berkeadilan, di Jakarta, Jumat (9/12).
Indikayornya, kata dia, realisasi pajak hingga November 2016, baru mencapai Rp876 triliun atau 65% dari target mencapai Rp 1.355 triliun. “Tinggal satu bulan lagi. Tidak mungkin mencapai Rp500 triliun dalam satu bulan. Itu mission impossible,” tegasnya.
Selama ini, kata dia, faktor ketidakpastian global selalu menjadi alasan. “Ini (ketidakpastian global) selalu digunakan oleh pemerintah untuk justifikasi. Mereka (DJP) selalu mencari kambing hitam atau menyederhanakan masalah,” ujarnya.
Untuk meningkatkan kinerja perpajakan serta penanggulangan korupsi sektor swasta, kata dia, Forum Pajak Berkeadilan mengajukan sembilan Rekomendasi Sektor Perpajakan 2017.
Pertama, mendesak pemerintah dan DPR segera menyelesaikan revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) untuk memperkuat upaya reformasi perpajakan sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Kedua, mendesak pemerintah mengimplementasikan anti bribery management (RAN PPK) di seluruh entitas pemerintahan dan bisnis untuk mencegah korupsi di sektor perpajakan.
Ketiga, mendesak pemerintah mengeluarkan aturan mengenai transparansi beneficial ownership.
“Ini penting untuk mencegah praktik penghindaran dan pengemplangan pajak, aliran uang haram, konflik kepentingan, dan keterlibatan aktor politik ilegal di sektor swasta,” ujarnya.
Keempat, mendorong implementasi pasal 13 BEPS (Base Erosion Profit Shifting) tentang country by country reporting yang mengungkap informasi detail pelaporan keuangan perusahaan internasional di level negara.
Kelima, mendorong penguatan fungsi kepatuhan melalui pengendalian internal lembaga publik termasuk Dirjen Pajak dan swasta.
Keenam, membangun whistle blower system sebagai upaya untuk memperkuat kanal pelaporan masyarakat dan mempercepat proses penindakan berbagai kasus korupsi di sektor perpajakan dengan menjamin kerahasiaan bagi pelapor dan menerapkan prinsip non reprisal.
Ketujuh, memperkuat database pajak dengan mengintegrasikan data wajib pajak dengan data penduduk (Single Identity Number).
Kedelapan, mempersiapkan sistem data yang kuat di sektor bisnis untuk mendukung penerapan dan pemanfaatan Automatic Exchange of Information yang mulai diterapkan di level global pada 2017.
“Dan kesembilan, mendorong kerjasama antar yuridiksi perpajakan global untuk mencegah kejahatan sektor perpajakan,” pungkas dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan