Jakarta, Aktual.com — Kendati ketahanan sistem perbankan nasional masih kuat, tapi kinerja perbankan yang mengalami penurunan cukup mengkhawatirkan. Beberapa indikator menunjukkan kinerja industri secara nasional lumayan berat.

Menurut Direktur Utama PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA), Edy Kuntardjo, di kuartal pertama saja kondisi perbankan rata-rata mengalami penurunan kinerja. Kondisi menjadikan tanda tanya, seberapa efektif peran pemerintah selama ini.

“Saat ini, kami lihat era pemerintah yang tak bisa diharapkan. Serapan belanja pemerintah saja belum bisa menggerakan perekonomian,” sebut dia di Jakarta, Kamis (12/5).

Beberapa indikator penurunan kinerja perbankan nasional adalah rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) adalah 2,5% di tahun 2015 yang mengalami peningkatan dibanding 2014 yang mencapai 2,0%.

“Ini sangat mengkawatirkan. Apalagi di kuartal pertama 2016 ini memburuk menjadi 2,85%,” jelas dia.

Selaras dengan itu, kucuran kredit juga mengalami penurunan dari 11,6% di 2014 menjadi 10,5% di tahun lalu. Apalagi Dana Pihak Ketiga (DPK) juga mengalami penurunan dari 12,3% menjadi 7,3%.

“Bahkan laba industri perbankan juga menurun di 2014 yang mencapai Rp112,16 triliun menjadi Rp104,62 triliun. Terkontraksi 6,72%. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian regulator,” tegas dia.

Makanya senada dengan itu, kata dia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mulai melihat tantangan perbankan ke depan yang makin berat. Antara lain, memberikan stimulus atau relaksasi mengantisipasi penurunan kinerja perbankan nasional yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.

“OJK sudah memberikan insentif untuk bank diperkenankan melakukan restrukturisasi kredit sebelum terjadinya penurunan kualitas kredit terhadap debitur yang dinilai berpotensi menjadi bermasalah,” papar Edy.

Tantangan terberat, kata dia, selain dihadapkan pada tantangan pertumbuhan dana juga kekhawatiran meningkatnya NPL, karena perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Menurut dia, rasio kredit terhadap pendanaan (loan to finance ratio/LFR) saat ini yang telah mencapai 90% akan menyulitkan perbankan untuk mencapai pertumbuhan kredit, jika tidak didukung pendanaan yang baik.

“Makanya bagi kami, seiring ketidakpastian kondisi ekonomi itu serta NPL yang fluktuatif, menjadi tantangan yang harus dicari solusinya. Seperti melalui opsi restrukturisasi atau likuidasi. Tapi tetap meningkatkan kehati-hatian dalam pemberian kredit,” tandas dia.

NPL BINA sendiri saat ini mencapai 0,21% per Desember 2015, dan ditargetkan akan terus terpelihara di tingkat yang lebih rendah di bawah 1%.

“Kami optimis NPL-nya terus rendah, sekalipun kredit kami bertumbuh 16,22% atau Rp203,24 miliar menjadi Rp1,45 triliun per Desember 2015 lalu. Dan target kredit tahun ini tumbuh 12%,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan