Denpasar, Aktual.com — “Teknik melukis itu tidak sengaja saya temukan. Terjadi begitu saja tanpa perencanaan ketika saya bermaksud merusak lukisan yang gagal dengan menyentuhkan jari-jari tangan yang sedang berlumuran cat ke permukaan kanvas, tak disangka malah menghasilkan lukisan yang unik dengan titik-titik sidik jari yang tertuang di kanvas,” demikian kata I Gusti Ngurah Gede Pemecutan, seorang pelukis sidik jari, sekaligus pemilik Museum Lukisan Sidik Jari di Tanjung Bungkak, Kota Denpasar, Bali, beberapa waktu yang lalu.
Gusti Ngurah melanjutkan, penemuan teknik melukis sidik jari itu terjadi pada tahun 1967 silam, ketika dirinya kedatangan seorang kawan yang membawa beberapa lukisan dan mengaku-aku sebagai seorang pelukis.
Terdorong keraguan atas kemampuan orang itu, Gusti Ngurah mengajaknya ke Pantai Kuta untuk melukis bersama-sama. Sesampai di pantai, terbongkarlah jika orang itu bukan seorang pelukis. Kesal merasa dibohongi, Gusti Ngurah mengajaknya pulang.
Keduanya pun naik sepeda gayung bersama-sama. Di tengah jalan, sepeda gayung yang dinaiki Gusti Ngurah kempes bannya, sehingga terpaksa berkali-kali berhenti untuk memompa.
Tumpukan rasa akibat dibohongi dan capek karena harus berpayah-payah menuntun sepeda, membuat Gusti Ngurah menjadi kesal. Di tengah kekesalan, Gusti Ngurah segera mengambil kanvas dan cat untuk menunjukkan kalau dirinya seniman sungguhan, dan kemudian melakukan demo melukis di depan temannya.
Namun sayangnya, karena masih digelayuti kekesalan, lukisan itu tidak kunjung selesai, sampai akhirnya si teman memutuskan pulang. Gusti Ngurah kemudian bermaksud merusakkan lukisan yang dianggap gagal, dengan cara mencelupkan tangan di cat warna, kemudian menyentuhkan ke atas kanvas. Lama-kelamaan, ketika diamati secara seksama, bekas-bekas jari tangan di kanvas justru menghadirkan warna-warni yang indah.
Keindahan ini, menginspirasi Gusti Ngurah untuk lebih banyak memberi titik-titik sidik jari di atas kuas dalam membuat lukisan, sehingga selanjutnya lelaki ini lebih banyak bereksperimen menggunakan jari tangan sebagai sarana menghasilkan karya seni.
Proses melukisnya adalah dengan menyentuhkan ujung jari tangan yang telah dilumuri cat ke kanvas, sehingga menghasilkan titik-titik yang meninggalkan guratan sidik jari yang terlihat begitu menarik dan unik.
Gusti kemudian mendalami penemuan teknik melukis ini, sehingga tercipta karya pertama ‘Tari Baris’ dan dilanjutkan dengan lukisan-lukisan menggunakan sidik jari lainnya, yang kemudian dipajang Gusti Ngurah di Museumnya.
Keunikan lukisan sidik jari ini menarik sejumlah pihak, sehingga pemerintah pusat kemudian mengirimkan 40 anak didik untuk belajar melukis dengan teknik sidik jari. Tidak hanya masyarakat lokal yang tertarik mempelajari teknik lukis itu. Sejumlah orang asing pun tertarik untuk belajar.
“Ada murid saya yang datang dari Kanada yang belajar selama dua bulan. Selain itu, ada pula yang sengaja datang dari Suriname dan Jepang yang khusus ingin menguasai teknik melukis sidik jari. Sayangnya tidak ada yang menguasai secara sempurna teknik melukis menggunakan jari tangan ini. Kendala utamanya adalah masalah kesabaran, karena tidak semua orang memiliki kesabaran untuk tekun belajar,” kata lelaki yang terlahir di Puri Pemecutan, Denpasar.
Padahal, katanya, syarat mutlak melukis dengan teknik sidik jari adalah kesabaran yang tinggi, dikarenakan membuat titik-titik dari ujung jari itu memerlukan konsentrasi tersendiri dan harus dengan penuh perasaan ketika melakukan prosesnya.
Jika salah satu titik ada yang salah, maka bisa dipastikan lukisan itu tidak akan berhasil menjadi sebuah karya, dikarenakan tidak bisa diperbaiki kembali. Berbeda halnya jika melukis dengan kuas, maka apabila ada kesalahan akan dengan mudah dapat diperbaiki dan tetap bisa dilanjutkan menjadi sebuah karya lukisan.
Waktu selama proses melukis juga tidak bisa dilakukan secara seketika karena memerlukan waktu pengerjaan yang tergolong lama. Gusti Ngurah bisa melukis dengan ukuran 1,5 meter X 3 meter dan diselesaikan selama 18 bulan. Kadang-kadang Gusti Ngurah melukis beberapa lukisan sekaligus berukuran 55 cm X 75 cm dan dikerjakan dalam waktu empat bulan.
“Benar-benar kesabaran adalah hal utama karena memang melukis dengan teknik ini memerlukan perasaan yang dalam. Kalau soal waktu melukis, saya bisa melakukan kapan saja tergantung ‘mood’, biasanya saya melukis maksimal tiga jam sehari, karena jari telunjuk saya cukup capek dipakai jika dipergunakan terus-menerus,” ujar lelaki yang pernah menerima penghargaan Piagam Werdi Budaya, Dharma Kusuma Madya dan Kerti Budaya dari Pemerintah Daerah Tingkat II Badung ini.
Bertemu Ratu Elizabeth Terlahir di keluarga Puri Pemecutan, tidak lantas membuat Gusti Ngurah mendapatkan keistimewaan yang berlebihan. Justru sejak kecil, Gusti Ngurah merasa nelangsa karena pada umur dua tahun, ibunda meninggal dunia. Adiknya saat itu baru berusia dua bulan.
Tumbuh tanpa belaian kasih ibu, membuat kondisi fisik Gusti Ngurah sakit-sakitan. Ketika duduk di bangku kelas II SLTP, dia menderita sakit tifus sehingga harus dirawat di rumah sakit selama 1,5 bulan.
Menginjak sekolah SLTA di Malang, Jawa Timur, Gusti kembali harus dirawat di rumah sakit karena menderita sakit paru-paru. Lelaki ini dirawat di Sanatorium Batu selama tiga bulan, sehingga sekolah SLTA dijalaninya selama lima tahun.
Selama menjalani proses perawatan, Gusti Ngurah menghabiskan waktu dengan melukis, suatu kesenangan yang sudah dilakukan sejak di bangku sekolah dasar. Gusti Ngurah melukis menggunakan pensil dan kertas yang dibawakan adiknya.
Ketika sudah pulih dan kemudian menamatkan sekolah, Gusti Ngurah ingin melanjutkan sekolah Kedokteran di Universitas Airlangga.
Sayangnya keinginannya tidak terkabul, karena terlambat mendaftar. Pada kondisi ini, Gusti Ngurah terayun-ayun kebimbangan tentang masa depannya, dan kemudian memutuskan untuk konsentrasi belajar melukis dengan mempelajari secara otodidak.
“Saya merasa dengan kondisi tubuh sakit-sakitan, tentu sulit mencari pekerjaan, sehingga memutuskan untuk serius mempelajari cara melukis dan bergabung dengan Sanggar Candra Kirana di Malang. Sanggar ini memiliki ‘show room’, sehingga anggotanya bisa menitip lukisan. Ternyata lukisan saya ada yang membeli. Saya gembira sekali dan langsung menancapkan angan-angan suatu hari kelak akan memiliki museum dengan uang tabungan saya,” katanya.
Di sela waktu senggang, Gusti Ngurah bekerja sebagai pembuat sketsa di Penerbit Bintang Timur. Penghasilan ini ditabung sedikit demi sedikit agar keinginannya bisa terwujud. Pada akhir 1960-an, Gusti Ngurah kembali ke Bali karena kondisi fisiknya yang sakit-sakitan.
Mengantongi ijazah SLTA, Gusti Ngurah dengan mudah mendapatkan pekerjaan dan langsung dipercaya sebagai kepala bagian ‘finishing’ di perusahaan Balitex, yang salah satu fasilitasnya adalah antar jemput menggunakan mobil.
Akan tetapi Gusti Ngurah tidak merasa sreg dengan pekerjaannya karena banyak berhubungan dengan bahan kimia, padahal dirinya bermasalah dengan kondisi paru-parunya. Lelaki ini kemudian memutuskan berhenti bekerja.
Tak berselang lama, Gusti Ngurah bergabung dengan perusahaan PT Usindo, yang berniaga pada berbagai bidang. Termasuk ban mobil, sembako, minyak goreng, barang kerajinan dan karya seni, balon mainan sampai berdagang sapi.
Tak pelak, Gusti Ngurah terbiasa berkeliling ke desa-desa untuk membeli sapi. Baru melihat sosok seekor sapi, Gusti Ngurah sudah bisa memperkirakan bobot satwa itu dan melakukan transaksi di sawah atau kebun penduduk.
Bukan hanya mengurusi pembelian sapi, Gusti Ngurah juga tidak asing lagi dengan tugas ke kampung-kampung seniman untuk membeli karya seniman, misalnya, patung atau lukisan.
Lelaki ini menjadi akrab dengan seniman di berbagai daerah, hingga kemudian mengantarkan pertemuan dengan Wayan Kaya, yang kemudian membimbingnya mengenai teori melukis. Khususnya tentang mencampur warna. Awalnya Gusti Ngurah lebih banyak melukis dengan hitam putih, setelah mendapat pengarahan Wayan Kaya, lelaki ini banyak mengeksplorasi warna-warna.
Pengetahuan ini, ditambah kedekatannya dengan seniman, membuat Gusti Ngurah makin terpanggil jiwa berkeseniannya. Kedekatan dengan seniman, membuat Gusti Ngurah dipercaya Pemprov Bali untuk menangani pameran di Istana Tampaksiring pada zaman Soekarno hingga pada awal pemerintahan Orde Baru.
Kepercayaan ini membuat suami dari Anak Agung Sayu Alit Puspawati, bertemu dengan sejumlah tokoh dunia, mulai dari Norodom Sihanouk, Ferdinand Marcos, Ratu Elizabeth dan sejumlah tokoh dunia lainnya.
Berkecimpungnya Gusti Ngurah di bidang kesenian, makin mengentalkan keinginannya untuk serius mendalami bakatnya melukis. Apalagi setelah dirinya belajar lebih dalam dari Wayan Kaya, dilanjutkan dengan penemuan tidak sengaja tentang teknik melukis sidik jari, kian mengentalkan niat Gusti Ngurah untuk total menjadi pelukis dan memutuskan membeli tanah di wilayah Tanjung Bungkak seluas 17 are lebih untuk merealisasikan cita-citanya memiliki museum. Saat itu, harga tanah adalah Rp150 ribu per are.
Setelah keluar dari pekerjaan, Gusti Ngurah benar-benar mencurahkan hari-harinya untuk melukis dengan objek berbagai macam hal. Gusti Ngurah lebih suka mengabadikan objek sesuai tematik, seperti seri tanaman hias, otomotif, ritual dan masih banyak lagi tema lain yang memikat perhatiannya.
Peminat lukisan Gusti Ngurah mayoritas adalah orang-orang asing yang menyukai karya seni yang tidak pasaran, memiliki nilai artistik tersendiri dan kalau bisa dirinya sendiri yang mengoleksi. Peminat lukisan dari masyarakat lokal, biasanya justru memburu lukisan yang sudah tren, yang sudah dimiliki orang-orang di sekitarnya.
Terkait ini, lukisan Gusti Ngurah yang harganya mulai Rp500 ribu hingga Rp150 juta lebih, lebih banyak diminat kolektor lukisan dari mancanegara.
“Beberapa tahun belakangan, saya suka membuat lukisan puisi hitam putih. Saya biasa membuat karya itu pada malam hari jika tidak bisa tidur. Puisi dan lukisan memang sudah menjadi bagian hidup saya. Sebenarnya, saya sudah beberapa tahun ini tidak bisa melukis karena terkena Parkinson sehingga tangan menjadi gemetaran, untungya setelah diterapi, kini sudah mulai membaik. Saya sudah ingin membuat karya sidik jari lagi. Lukisan sidik jari yang saya bikin telah mencapai 666 buah, tapi sebagian besar berada di tangan kolektor. Saya tidak ingin berhenti berkarya,” ujarnya dengan sorot mata teduhnya.
Artikel ini ditulis oleh: