Prof. Dr Supandi, SH, MHum bersama kawan kecilnya masa gembala yang dikenal 'Bocah Kebon Dari Deli.'
Prof. Dr Supandi, SH, MHum bersama kawan kecilnya masa gembala yang dikenal 'Bocah Kebon Dari Deli.'

Jakarta, Aktual.com – Pengalaman masa kecil Prof. Dr. Supandi, SH,MHum ternyata sangat seru. Ketua Muda bidang Tata Usaha Negara (TUN) di Mahkamah Agung RI itu memiliki segudang kisah seru dan lucu masa kecilnya. Ini tertuang dalam buku biografi beliau berjudul ‘Bocah Kebon Dari Deli’ yang terbit beberapa waktu lalu.

Masa kecil Supandi dihabiskan dilingkungan perkebunan di Kawasan Saentis, Sumatera Utara. Daerah itu merupakan wilayah perkebunan tembakau eks milik Hindia Belanda. Kemudian dilakukan nasionalisasi menjadi PTPN IX. Masa kecil Supandi menjadi penggembala kambing dan sapi di hutan yang masih mengeliling perkebunan. Kawasan hutan itu juga masuk dalam lingkungan milik perkebunan yang dikuasai pemerintah.

Suatu kali, Supandi melakoni kegiatan keseharian. Dia masih bersekolah SR. Jaraknya lumayan jauh. Sekitar 5 km jalan kaki setiap hari. Pulang sekolah, dia Bersama kawanan gembala di desa itu. Selepas berganti baju, dia langsung mengeluarkan sapi-sapi dan kambing untuk digembalakan di hutan. Disitulah berjumpa dengan Kawasan penggembala lainnya, yang juga seusia Supandi.

Di buku ‘Bocah Kebon Dari Deli’, tampak bagaimana keseruan tentang bocah kebon kala menggembala di hutan. Ini tertuang apik dan menarik dalam buku tersebut. Aktual.com berusaha memetiknya untuk dinikmati utuh oleh pembaca. Simak kisahnya.

“Udara siang itu serasa panas. Mentari seolah menunjukkan amarahnya. Saentis, seperti biasa, tampak sengatan matahari yang menyala-nyala. Saya baru pulang sekolah. Jarum jam menunjuk angka 12 siang. Ini saatnya memang mentari tengah panas-panasnya.

Saya pulang ke rumah dari sekolah dengan berjalan kaki. Masih tanpa sepatu. Bersama kawan-kawan lain, kami berjalan bersama-sama menuju rumah. Jaraknya kisaran 5 kilometer jauhnya. Jaman itu, jarak segitu masih dibilang dekat. Walau berjalan kaki. Orang sekarang, jarak 100 meter saja sudah naik sepeda motor. Sementara di era dulu, kami terbiasa berjalan kaki.

Tapi sengatan mentari memang tak bisa. Saya mencari daun pisang. Karena dipinggir jalan, yang beralas tanah belum diaspal, masih banyak terdapat pohon pisang. Saya petik satu buah daunnya yang panjang. Kemudian ditengadahkan di atas kepala. Nah, daun pisang itulah pengganti payung. Maklum, kita jaman itu masih belum memiliki payung. Jadi daun pisang itu sebagai penghalang sinar matahari yang panas menyengat. Kemudian berjalan pelan-pelan menuju ke rumah.

Sampai dirumah, segudang tugas telah menanti. Saya langsung membersihkan kandang kambing, kandang sapi. Sementara sapi dan kambing sudah saling bersahutan. Mereka seolah telah menunggu saya pulang dari sekolah. Tak sabar untuk dilepaskan di hutan. Di gembalakan lagi.

Setelah sholat dzuhur, saya pun melepaskan sapi-sapi dan kambing dari kandangnya. Tampak wajah mereka seperti kegirangan. Keluar dari kandang tak sabaran. Mereka berjalan beriringan. Saya mengikuti dari belakang. Lengkap dengan peralatan gembala seperti biasa.

Saya berjumpa dengan kawan-kawan gembala lainnya. Mereka juga telah melepaskan sapi dan kambingnya. Kami sama-sama menuju ke hutan. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari rumah. Kadang bisa mencapai 10 km. Itu tak terkesan jauh, bagi kami anak gembala.

Di hutan, disitulah suka duka bersama dengan anak gembala. Ternyata kami sama-sama belum makan siang. Kelaparan. Perut keroncongan. Di dalam hutan tadi baru terasa.

Sementara kami melihat sapi-sapi dan kambing lagi enaknya makan rumput. Mereka terus tak berhenti mengunyah. Karena di hutan kualitas rumput masih terjaga.

Kami bersepuluh anak gembala, seperti biasa. Karena rasa lapar yang sama-sama dirasakan, kami pun berinisiatif untuk mencari makanan. Tapi bukan pergi ke warung makan, karena kami sama sekali tak punya uang. Jangankan untuk makan di warung, sekedar uang jajan saja kami tak merasakan.

Kawan saya, Tukiran Jemadi Kepet, langsung sigap membuat jebakan burung. Dia lihai dalam memjerat burung. Ini keterampilan khususnya.

Saya kebagian mencari sarang burung. Kami intip dimana burung-burung bersarang, lalu dipanjat sangkarnya. Jika ada telurnya, maka telurnya kami ambil. Jika ada lima butir telur, empat butir kami ambil. Lalu disisakan satu saja.

Setelah turun, kami beri tanda di pohon itu ada sarang burung. Supaya besoknya kami bisa ambil lagi. Karena burung sering bertelur.

Kami berkeliling hutan mencari telur burung. Semuanya bergerak. Karena kami merasakan rasa lapar yang sama di tengah hutan. Tak ada nasi, sayur mayur yang matang. Makanan seadanya saja dari apa yang ada di hutan.

Setelah beberapa lama mencari telur burung, kami kumpulkan. Ternyata didapat sekitar 30 butir telur. Ini jumlah yang lumayan juga. Lalu telurnya kami rebus. Dengan menggunakan kaleng bekas, di isi air dari sungai yang jernih. Telur kami masukkan ke dalamnya. Di rebus.

Sementara Tukiran lagi sibuk dengan jebakan burungnya. Ternyata jebakan burungnya berhasil. Beberapa burung puyuh bisa masuk jebakan dia. Dia membuat jebakan burung, dimulai dari titik dimana burung sering hinggap dan bermain-main. Lokasi itu dia tandai. Lalu dipasang perangkap. Kami pun menunggu di gubuk. Melihat dari kejauhan. Maklum, kami sudah memiliki gubuk yang dibangun sebelumnya. Ini sebagai tempat berteduh saja. Menjadi markas kami, anak gembala di tengah hutan.

Beberapa lama kemudian kita lihat lagi, eh ternyata dapat.

“Wooii, dapat burung ini,” kata Tukiran girang.

Kami pun girang sekali karena perangkapnya berhasil. Seperti anak-anak mendapatkan mainan bagus. Itulah rasa girang di tengah hutan.

“Mau kita apakan ini burungnya ya?” katanya.

“Kita bakar aja,” sahut kawan satu lagi.

Maka kami pun menyiapkan bakaran burung. Bukan dari alat untuk barbekyu. Melainkan dari ranting-ranting yang diikat. Kemudian sampah-sampah kayu kami kumpulkan. Maka burung bisa dibakar diatasnya. Tanpa bumbu-bumbu penyedap. Tapi begitu burung sudah matang, rasanya sangat nikmat sekali.

Siang itu kami makan telur burung yang direbus dan burung yang di bakar. Kami makan bersama-sama di tengah hutan. Syukur alhamdulillah makanan itu sudah bisa membuat perut jadi kenyang. Begitulah cara kami mencari makan di tengah hutan. Makanan ala anak gembala.

Besoknya kami pun kadang menimba ikan. Di tengah hutan, ada parit yang mengalir. Parit ini memang buatan. Karena sengaja dibuat oleh orang Belanda. Sebagai aliran air yang tertata rapi, untuk mengairi tanaman tembakau dulu. Parit itu airnya jernih. Ikannya sangat banyak. Kadang ikannya besar-besar.

Kami pun menguras parit itu. sebelumnya kami buat dulu bendungan. Kami ambil tanah, lalu parit itu kami bendung. Maka airnya menjadi sedikit. Saat itulah kami kuras dengan timba seadanya. Karena airnya mengering, maka ikan-ikannya pun bermunculan. Maka dengan mudah kami tangkap ikan-ikan itu.

Selepas ditangkap, di dapatlah beberapa ikan. Besar-besar. Ada ikan gabus, ikan sepat dan ikan-ikan lainnya. Kami membakar ikan-ikan itu. Di santap bersama-sama. Kawan-kawan gembala merasa girang dengan menyanpat ikan bakar yang kami buat sendiri. Itu juga membuat perut kami terasa kenyang. Setelah itu kami pun bermain-main lagi. Kami saling setia kawan, saling bantu. Kadang saling ejek. Tapi tak sampai berkelahi. Karena bukan untuk menyakiti, melainkan ejekan anak jenaka. Begitulah suka duka anak gembala.

Itu keseharian kami selama menggembalakan kambing dan sapi di hutan. Besoknya pun kami menggembala lagi. Berkumpul lagi di tengah hutan. Sambil asyik bermain-main seadanya. Kami menjalani rutinitas di hutan saban hari. Tapi tiba-tiba ada suara orang dewasa berteriak kencang.

“Wooooiiiiiiii…..!!!” katanya keras. Suara itu besar pertanda marah.

Kami bertejut. Orang itu lari kencang mendatangi kami. Kumisnya tebal. Wajahnya agak seram. Kami ketakutan. Ternyata dia adalah centeng kebon. Dia digaji oleh PTP sengaja untuk menjaga areal perkebunan. Menjaga dari hal-hal yang bisa menganggu rutinitas perkebunan.

Melihat dia berlari ke arah kami, maka kami pun bercicingan melarikan diri. Masing-masing ke arah yang sesukanya. Tak tentu arah. Yang penting lari, karena melihat ada yang mengejar. Centeng itu, yang kumisnya tebal. Saya agak ketakutan juga. Karena kami tak pernah mendapat pengalaman seperti itu sebelumnya.

Kami lari terbirit-birit. Ternyata ada satu orang kawan yang berhasil ditangkap. Kami pun mendatanginya. Kami ikut berupaya supaya membebaskan dari tangkapan centeng itu. Kami dimarahi habis-habisan oleh centeng itu.

Ternyata dia marah karena ulah kami sebelumnya. Kami membendung parit yang dikuras itu. parit yang dibendung, kami tangkap ikan-ikannya. Tapi kami lupa untuk membuka lagi bendungan parit itu. alhasil air menjadi tak mengalir. Karena air tak mengalir, maka menganggu aktivitas pengairan di perkebunan. Ini bisa merusak tanaman di perkebunan. Itulah yang membuat kami dikejar-kejar centeng. Begitulah nasib anak gembala. Kadang riang, kadang ada sialnya juga.

Kejadian itu makin menambah kekompakan kami anak gembala. Bocah Kebon. Ikatan batin sesama anak gembala terjalin seketika. Karena kami merasakan senasib dan sepenanggungan. Kami setiap hari berusaha bertahan hidup di tengah hutan. Makan seadanya. Kebanyakan dari kawan-kawan saya anak gembala itu tak melanjutkan sekolahnya. Selepas tamat SR, mereka memilih tak melanjutkan ke jenjang SMP. Karena sekolah SMP jauh sekali lokasinya. Sekitar 50 km dari Saentis. Ini yang membuat banyak enggan melanjutkan sekolah. Alhasil memilih bekerja serabutan saja. Karena untuk sekolah, berarti harus memiliki uang untuk biaya kost dan kebutuhan hidup. Tentu itu tak ada. Untuk makan keseharian saja dirasa kurang. Apalagi untuk keperluan indekost.”

 

Buku 'Bocah Kebon Dari Deli' tersedia di toko buku Gramedia seluruh Indonesia
Buku ‘Bocah Kebon Dari Deli’ tersedia di toko buku Gramedia seluruh Indonesia

Kisah ini sungguh jenaka. Tak menyangka sosok Prof. Supandi dulunya adalah penggembala yang gigih di Kawasan hutan. Kisah masa kecilnya penuh dengan cerita menarik dan unik. Tak heran hal itu yang berhasil menempanya menjadi pejabat tinggi negara di Mahkamah Agung.

Artikel ini ditulis oleh:

A. Hilmi