“Saya sudah seperti orang Bangladesh, aksen bahasa juga sama, apalagi saya sudah dari kecil di sini. Ini membuat mereka tidak bisa membedakan,” ujarnya.

Perjuangan tiada akhir Hidup di kamp pengungsian tanpa status kewarganegaraan tidak membuat Emam kecil enggan untuk mengenyam pendidikan.

“Saya sekolah di sekolahan umum dekat pengungsian dari mulai SD hingga lulus SMA. Kalau dulu, anak pengungsi masih bisa sekolah di sekolahan umum. Kalau sekarang sulit. Lalu saya melanjutkan universitas mengambil kedokteran,” jelas Emam.

Saat menempuh bangku kuliah itu, Emam berjuang mendapatkan kartu kependudukan (NID) Bangladesh. Tanpa mengungkap secara detail, Emam berhasil memiliki NID.

“Di keluarga, hanya saya yang mendapat NID, orang tua dan saudara-saudara saya tidak. Karena saya benar-benar berjuang mendapatkan itu,” kata Emam.

“Dengan kondisi saat ini, sudah tidak mungkin membuat NID untuk keluarga saya,” tambahnya.

Meski memiliki NID, tidak membuat Emam bisa bekerja di Bangladesh.

“Saya tidak bisa bekerja di rumah sakit umum di Bangladesh karena banyak orang yang tahu kalau saya ini seorang Rohingya. Selain itu, kalau saya ingin bekerja di rumah sakit sini masih ada beberapa dokumen penting yang harus saya punya,” jelasnya.

Maka, Emam mengadu nasib ke Arab Saudi. Ia bekerja sebagai dokter di rumah sakit swasta di negara tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Nebby