Jakarta, aktual.com – Di masa lampau, ketika Islam baru muncul di Makkah, Rasulullah saw beserta pengikutnya dari suku Bani Hasyim dan Muthalib pernah mengalami tindakan pemboikotan dari suku Quraisy. Pemboikotan terhadap Nabi Muhammad dan umat Islam yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy di Makkah, terjadi sekitar tahun ke-7 masa kenabian, khususnya pada bulan Muharram.
Strategi politik kaum Musyrik di Makkah termanifestasikan dalam tindakan pemboikotan yang diprakarsai oleh Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Umayyah bin Khalaf. Para pemimpin Quraisy merasa khawatir dengan pesatnya perkembangan dakwah Rasulullah. Mereka merasa terancam oleh ajaran Islam yang diumumkan oleh Nabi Muhammad, yang menyerukan tauhid dan menolak penyembahan berhala, hal ini bertentangan dengan keyakinan agama nenek moyang mereka.
Dalam kitab “Ar-Rahiq al-Makhtum” oleh Syekh Shafiyyurahman al-Mubarakfury, dijelaskan bahwa sebelum dilakukan pemboikotan, beberapa tokoh utama Quraisy telah memeluk Islam, termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib, diikuti oleh Umar bin Khattab. Selain itu, Bani Hasyim dan Muthalib bersatu untuk melindungi komunitas mereka, terutama Nabi Muhammad sebagai keturunan dari keluarga Muthalib.
Di sisi lain, pemboikotan ini dipicu oleh kemarahan kaum kafir Quraisy terhadap intensitas dakwah Rasulullah yang semakin meningkat. Kaum kafir Quraisy merasa tidak senang dengan ajaran Islam yang mengajak mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala dan beralih menyembah Allah SWT. Pemimpin Quraisy juga merasa cemas bahwa dakwah Rasulullah dapat mengancam posisi mereka sebagai pemimpin politik dan ekonomi di Makkah.
Selain itu, Ibnu Hisyam dalam kitab Sirah Nabawiyah, pada halaman 218, menyatakan bahwa alasan di balik pemboikotan terhadap Rasulullah dan sukunya adalah karena Umar bin Khaththab dan Hamzah telah memeluk Islam. Selain itu, keduanya membela Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, serta Islam telah tersebar luas di antara suku-suku Quraisy.
Dalam menghadapi situasi politik yang semakin tidak stabil, suku Quraisy segera mengadakan pertemuan di kampung Bani Kinanah untuk merencanakan konspirasi. Dalam rapat tersebut, mereka menyusun perjanjian yang ditujukan kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, dengan tujuan membuat kedua suku tersebut menderita. Dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, terdokumentasikan bahwa terdapat empat poin kunci dalam boikot tersebut.
Pertama, suku Quraisy diharuskan untuk tidak menikahi wanita-wanita dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Kedua, mereka dilarang menikahkan putri-putri mereka dengan orang-orang dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Ketiga, mereka tidak diizinkan menjual barang atau jasa apapun kepada Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Dan keempat, suku Quraisy dilarang membeli barang atau jasa apapun dari Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.
Dari perspektif lain, Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury menjelaskan dalam bukunya, bahwa perjanjian boikot tersebut dicatat dalam sebuah papan yang dipasang di Ka’bah. Papan tersebut memuat kesepakatan dan keputusan dari orang-orang Quraisy untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Penulis perjanjian boikot ini adalah Baghidh bin Amir bin Hasyim, seorang tokoh Quraisy yang menentang penyebaran agama Islam.
Tujuan utama pembuatan perjanjian boikot ini adalah memaksa Bani Hasyim dan Bani Muthalib untuk meninggalkan Nabi Muhammad dan kembali ke keyakinan nenek moyang mereka. Pemboikotan ini diterapkan dengan sangat ketat, menyebabkan klan Bani Hasyim dan Muthalib terisolasi dari dunia luar. Dampaknya, persediaan makanan dan barang kebutuhan pokok mereka habis.
Pada saat yang sama, para penyembah berhala mencegah masuknya bahan makanan ke Makkah. Bahkan jika bahan makanan masuk, mereka segera membelinya, sehingga Bani Muthalib dan Hasyim tidak dapat memiliki akses padanya. Keadaan ini sangat mengerikan dan menyebabkan kelaparan.
Al-Mubarakfury mendeskripsikan penderitaan Rasulullah karena boikot tersebut, sebagai berikut;
حتى بلغهم الجهد والتجأوا إلى أكل الأوراق والجلود، وحتى كان يسمع من وراء الشعب أصوات نسائهم وصبيانهم يتضاغون من الحرم
“Sampai mereka mengalami kesulitan dan terpaksa memakan daun kering dan kulit, bahkan terdengar dari balik perkampungan suara para wanita dan anak-anak yang menangis karena kelaparan dari kaum perkampungan Abu Thalib,”.
Inilah penderitaan Rasulullah dan pengikutnya, yang mencapai titik terlemahnya dan terpaksa mengonsumsi daun kering dan kulit untuk bertahan hidup. Suara tangisan istri dan anak-anak mereka yang merasakan kesakitan terdengar dari balik perkampungan. Pada suatu waktu, Hakim bin Hizam, keponakan dari istri Nabi, Khadijah, datang ke Makkah untuk memberikan gandum kepada bibinya, Khadijah, agar dapat dimakan. Namun, Abu Jahal mengetahuinya dan melarang agar gandum tersebut tidak dibawa masuk. Ini menyebabkan ketegangan antara keduanya.
Di tengah kondisi kelaparan tersebut, suku Quraisy tidak mempedulikan situasi sulit yang dialami oleh Bani Hasyim dan Bani Muthalib selama periode boikot. Mereka tidak memberikan bantuan apa pun, bahkan dalam situasi di mana Bani Hasyim dan Bani Muthalib mengalami sakit atau kelaparan, mereka tetap tidak diberikan pertolongan. Kondisi ini berlangsung selama tiga tahun, dengan Nabi dan para pengikutnya diasingkan dan diisolasi, sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran dakwah Rasulullah.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain