Jakarta, Aktual.com — Penampilannya yang anggun dan penuh semangat didampingi sang suami yang menawan, Mita Rosettaufik kini telah memiliki dunia baru.

Dunia yang lahir dari sebuah perjalanan panjang setelah bersahabat dengan kanker.

Kanker mengubah jalan hidupnya menjadi pribadi yang mengabdikan dirinya dengan keyakinan untuk bekal kembali pulang.

Pada 14 tahun berlalu, Mita hidup sebagai penyintas atau orang yang selamat dari kanker. Namun, kini ia tak lagi mengonsumsi obat, walau sebulan sekali harus memeriksakan diri untuk memastikan kanker itu tidak kembali datang.

“Trauma itulah yang paling dikhawatirkan dari penderita kanker. Hidup dengan trauma, bepikir akankan kanker kembali datang, itulah ketakutan terbesar para penderita yang harus kita kuatkan,” kata ia berbagi cerita, kepada wartawan pada Rabu (24/02) lalu.

Tetapi, kini ia yakin dan percaya, ketika kanker sudah berdamai dengan dirinya. Keyakinan itu mengarahkannya untuk selalu berpikir positif, menghindari diri dari tekanan stres.

Pada usia 36 tahun, ia divonis mengidap kanker payudara stadium empat B. Penyakit tersebut diam-diam datang menghampirinya, tanpa ada pertanda. Ia tidak menyangka kanker membalikkan dunianya.

“Saya yang dulunya aktif dan tidak mau diam, tersadar ketika saya hanya mampu menggerakkan mata saja, di antara hidup dan mati,” katanya.

Sebuah kalimat terucap dari hatinya yang paling dalam, saat hidup di antara mati, tercekat dengan pemikiran sudahkah bekal akhirat ia bawa pulang. “Tuhan, izinkan saya hidup, biar bisa mengisi ‘rantang’ saya untuk pulang,” begitu bisiknya.

“Terima kasih Tuhan, aku terkena kanker,” kata wanita berparas ayu tersebut.

Kebaya putih, berpadu kain batik melingkari tubuhnya, dengan jilbab merah muda memperlihatkan sosok baru mantan motivator tersebut. Kanker mengajarkannya untuk lebih menghargai dirinya, mencari pemaknaan sesungguhnya arti lahirnya di dunia.

“Ini mungkin jalan Tuhan, kanker mengajarkan saya, menjadi pribadi yang bisa memberi manfaat, tahu tujuan hidup saya,” katanya bijak.

Selama kanker menggerogotinya, ia tidak menyerah bahkan pasrah pun tidak. Beruntung sebagai sepupu perempuan tertua, banyak saudara yang memedulikannya. Ia tidak harus memikirkan biaya, karena dukungan keluarga menyemangatinya.

Tetapi, bukan lantas itu menyembuhkannya. Sebagai pesakitan, ia mendapatkan perlakuan istimewa bahkan berlebih, membantunya berjuang melawan penyakit. Tetapi, semakin ia melawan, semakin hari-harinya terasa sakit.

Ia harus diradiasi hingga 30 kali, dan pengangkatan payudara menjadi pilihan satu-satunya. Enam kali menjalani kemoterapi, hingga harus melakukan hormonterapi yang menjadi pemicu perkembangan kanker dalam tubuhnya.

Selama menjadi pesakitan kanker, ia menenggelamkan dirinya dalam buku-buku tentang kanker dan psikologi. Sebuah buku yang dipelajarinya, 10 persen penyebab kanker karena pola hidup, genetik dan pola makan.

“Yang paling banyak mempengaruhi adalah pola pikir, kita selama ini sering kali melakukan hal-hal yang bukan kita,” katanya.

Pelajaran berharga yang didapatkan dari kanker, ketika ia harus berdamai dengan penyakit yang dijuluki “pembunuh diam-diam” ini dan menjalani apa yang dirinya inginkan. Menjadi diri sendiri, menjalani hari-hari sebagai dirinya.

“Karena saya banyak yang memerhatikan, saya diatur tidak boleh begini, harus begini. Saya menyerah, tapi saya belajar jadi diri sendiri, dan berani mengatakan tidak, dan memutuskan apa yang saya mau,” katanya.

Dukungan keluarga penting baginya, tetapi menubuhkan kepercayaan diri sendiri, dan mau berdamai dengan penyakitnya jauh lebih penting untuk melawan kanker dari dalam.

“Bukan melawan kanker tetapi berdamai dengan kanker. Saya lebih memilih filosofi ini,” katanya.

Mita merupakan sepupu dari Wali Kota Bima Arya Sugiarto, ibunya adik dari bapak Bima Arya. Kini ia mendalami psikologi dengan subtansi pembaca tulisan tangan yang disebut Grafology. Sebuah keahlian yang jarang sekali dimiliki kebanyakan orang. Empat kasus di pengadilan pernah ditanganinya, membaca tulisan tangan untuk membantu upaya penegakan hukum.

Ia pun membuka kantor praktek sendiri, Mita Rosette and Partner di Bogor. Sesekali ia mendapatkan panggilan di Jakarta untuk membantu beberapa berkas yang membutuhkan keahliannya.

Bersama dengan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Bogor, Mita menjadi motivator yang membantu penderita kanker agar mau berjuang untuk sembuh dari kesakitannya, selama mau berdamai dengan kanker.

Mita telah menelurkan dua buku, buku pertamanya tentang Grafologi telah terbit melalui percepatan Bentang Pustaka, dan buku kedua berkisah tentang kanker dengan judul “Thanks God, I Got Cancer” sedang dirilis.

Preventif, Preemtif dan Promotif Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, belajar dari keteguhan sepupunya berjuang dengan kanker, yang disadarinya betul, ia mewarisi faktor genetik kanker. Tiga sepupunya terdeteksi kanker, salah satunya, Mitta berhasil sembuh dari kanker.

“Bapak saya meninggal usia 70 tahun karena kanker darah, ibunya di usia 60 tahun meninggal karena kanker kulit. Ayah mertua saya juga meninggal karena kanker hati,” kata pria asal Bogor itu.

Dikatakannya, hidup sebagai seorang anggota ABRI/Polri, bapaknya hidup secara dispilin dengan memperhatikan pola hidup sehat. Tapi takdir berkata lain, ia menyerah pada kanker. Begitulah sang ibu, yang sejak mudanya sehat dan bahagia, tak terlihat pertanda, kanker mengantarkannya kembali berpulang pada yang kuasa.

Di Kota Bogor, tercatat 162 penderita kanker pada tahun 2015. Mereka terdiri atas 80 penderita kanker payudarah tujuh penderita kanker mulut rahim, sisanya penderita kanker usus, kanker darah, kanker paru dan mata.

“Pemerintah Kota Bogor berjuang dengan cara preventif, preemtif dan promotif. Dengan pembangunan taman, sebagai oksigen jiwa, banyaknya taman selaras dengan keharmonisan jiwa,” katanya.

Taman menjadi modal warga Bogor untuk hidup sehat. Begitu pula dengan edukasi yang dilakukan oleh setiap Puskesmas, kader kesehatan dan PKK. Melakukan deteksi dan penemuan dini kanker membantu penanganan, mencegah stadium lanjut penderita kanker.

“Walau perlu nyali untuk memeriksakan diri. Deteksi diri perlu dilakukan jangan sampai kanker berlanjut,” katanya. Kanker merupakan penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan presentasi 5,7 persen dari seluruh penyebab kematian (Riskesdas, 2007). Kanker payudarah dan mulut rahim banyak diderita oleh perempuan, kanker paru dan kolorektal banyak diderita oleh laki-laki, dan kanker pada anak seperti leukimia, dan bola mata.

“70 persen dari penderita kanker datang berobat dalam kondisi sudah stadiun lanjut,” kata Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Disentralisasi Kesehatan, Sri Henni Setiawati.

Menurut ia, beban pembiayaan yang sangat besar menjadi permasalahan untuk pemerintah dan masyarakat. Laporan Jaminan Kesehatan Masyarakat menunjukkan pada tahun 2012 pengobatan kanker menempati urutan kedua setelah hemodialisa yakni Rp144,7 milyar.

Sementara, menurut data BPJS pada tahun 2015 penderita kanker yang mendapat pengobatan 937 ribu kasus dan telah menelan biaya sebesar Rp1,6 triliun.

“Pencegahan secara komprehensif dapat dilakukan dengan deteksi dini, agar tidak datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi lanjut. Dukungan dari pihak keluarga, perilaku hidup bersih dengan PHBS, agar resiko kanker dapat berkurang,” kata Heny.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara