Jakarta, Aktual.com – Kejadian ini berlangsung sekitar tahun 1914 lalu. Lokasinya berada di Tulungagung, Jawa Timur. Ini masa ketika di perkebunan Deli masih terkenal dengan perkebunan tembakau. Masa itu tembakau masih dinilai setara dengan emas. Karena tembakau Deli terkenal hingga Bremen, Jerman sana.
Hindia Belanda banyak menanam tembakau untuk diekspor ke Eropa. Di Deli, perusahaan-perusahaan tembakau menjamur bak musim penghujan. Yang terkenal salah satunya adalah Deli Maatschapij. Perusahaan tembakau milik orang Belanda.
Perkebunan tembakau di Deli, memerlukan banyak tenaga kerja. Mereka yang sering disebut para ‘koeli’. Sebutan lainnya yang terkenal adalah ‘koeli kontrak’. Mereka kebanyakan didatangkan dari Jawa. Dari sana para kuli didatangkan, bahkan tak jarang dengan cara paksa.
Ini pula yang menimpa Supirah. Gadis belia berumur 14 tahun. Supirah berada di Tulungagung, Jawa Timur. Berasal dari Desa Ngipik. Sekitar 20 kilometer dari kota Tulungagung. Suatu hari, Supirah pergi ke pasar Templek dengan dua temannya, Sumo dan Sabrut.
Di pasar itu, bahu mereka ditepuk oleh centeng-centeng anak buah Tjong A Fie. Dia ini seorang saudagar Cina terkenal di Medan, Sumatera Utara. Terkenal sebagai pemasok koeli kontrak bagi perkebunan tembakau Hindia Belanda tadi.
Ketiga pemuda pemudi itu pun terkena pelet alias sihir. Ketiganya kemudian mengikuti para centeng tadi, tanpa sadar. Mereka terhipnotis. Di tengah jalan, Sabrut, salah seorang teman Supirah tersadar. Karena dia ternyata baru menikah, dia teringat istrinya. Temannya lagi, baru memiliki bayi. Buah dadanya kemudian membesar.
Alhasil hal itu melepaskan mereka dari jerat pelet sihir tadi. Dua orang tersadarkan diri dan segera pulang. Sementara Supirah bernasib lain. Dia tetap dalam pengaruh pelet tadi. Alhasil mengikuti para centeng tadi. Supirah pun dibawa hingga ke Semarang, Jawa Tengah.
Dari Tulungagung dia dibawa para anak buah Tjong A Fie tadi sampai ke Semarang. Sampai ke Semarang, dia dinaikkan ke kapal yang membawa para kuli kontrak ke Deli, Sumatera Utara.
Kisah itu tertuang dalam buku “Bocah Kebon Dari Deli.” Buku yang baru diterbitkan penerbit “Mahkamah” yang kini beredar luas di toko buku Gramedia seluruh Indonesia. Buku “Bocah Kebon Dari Deli” berisikan biografi Prof. Dr. Supandi, SH, M.Hum, Ketua Muda kamar Tata Usaha Negara (TUN) di Mahkamah Agung.
Perjalanan hidup beliau tercatatkan sangat menarik sekali dalam buku tersebut. Karena penulisannya bak kisah novel, yang enak dibaca dan penuh drama historis dan pesan hidup yang sangat penting bagi kita semua.
Supirah kemudian baru tersadar setelah berada di kapal, di tengah lautan. Bayangkan, umurnya baru 14 tahun, tapi sudah terpisah dari sanak keluarganya, orangtuanya dan saudara-saudaranya di Tulungagung, Jawa Timur sana. Itulah nenek kandung Prof Supandi tersebut.
Supirah kemudian berlabuh di Deli. Bersama para kuli kontrak lainnya. Dia kemudian ditugaskan di daerah Bekala, Sumatera Utara. Supirah pun dipaksa menjadi kuli kontrak di perkebunan Belanda. Itulah salah satu drama dibalik kejamnya kisah kuli kontrak.
Supirah kemudian beranjak dewasa dan bertemu jodohnya di Deli, Sumatera Utara. Dia menikah dengan Sariman, yang dulunya juga bekerja di perkebunan Belanda. Dari pernikahan itulah melahirkan Ngadinem.
Inilah ibu kandung Supandi. Ngadinem ini pejuang kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Timur. Dia bagian dari pemudi yang turut serta dalam Palang Merah Indonesia (PMI). Di sanala dia bertemu dengan Ngadimun, seorang anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Ngadimun dan Ngadinem pun menikah di tengah perjuangan. Dari sanalah Supandi lahir. Dia kemudian menghabiskan masa kecilnya Bersama Supirah, yang sudah beranjak menjadi nenek. Dia disapa dengan “Mbah Supirah” atau juga “Mbah Surip”.
Di sela-sela kehidupannya yang asri di Tembung, Deli Serdang, Sumatera Utara, disitulah kerinduannya kepada kampung halaman dan sanak keluargamya di Tulungagung sana tak pernah putus.
“Semoga cucuku ini suatu saat bisa Kembali ke kampungku,” kata Supirah sembari mengelus-elus halus kepala Supandi. Waktu itu Supandi masih kecil. Dia masih belum paham apa makna ucapan Mbah-nya itu.
Dan Supirah juga sering mengatakan pada Supandi, “Kalau besar nanti menjadi “mister” yo, Nang (jadi Hakim ya, Nak),” katanya. Nah, kisah berjalan, ucapan dan doa dari Mbah Supirah itu menjadi kenyataan. Karena Supandi pun kemudian besar menjadi hakim.
Singkat cerita, Supandi dengan susah payahnya berhasil menamatkan sekolah. Dari Sekolah Rakyat hingga masuk STM di Medan. Lalu melanjutkan ke Akademi Penerbangan. Lulus dari sana, dia bekerja di Pelabuhan udara Polonia, Medan.
Sembari bekerja, dia meneruskan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Setelah lulus, Supandi pun memutuskan pindah menjadi Hakim. Dia menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara kali pertama.
Sewaktu hendak mengambil sertipikat kelulusan di Jakarta itu, Supandi sudah berulangkali terbang dari Medan ke Jakarta. Karena sewaktu bekerja di Perhubungan Udara, dia sudah bolak balik ke Jakarta.
Suatu kali, Supandi pun membawa Mbah Supirah Kembali ke kampung halamanannya di Tulungagung, Jawa Timur. Disinilah suka cita mulai terjadi. Kisah yang penuh haru biru.
Mbah Supirah begitu bersemangat diajak Supandi Kembali ke Tulunagung. Bayangkan, sejak diculik tahun 1914 lalu, dia tak pernah Kembali ke sana. Nah, Supandi mengajaknya ke sana pada tahun 1985. Sekitar 70 tahun kemudian. Tentu ini bukan suasana sebentar.
Supirah meninggalkan Tulungagung usia 14 tahun. Kemudian Kembali ke Tulungagung 70 tahun kemudian. Tentu suasananya sudah berubah.
Supandi menyewa sebuah becak dari kota Tulungagung. Mereka berdua menuju Desa Ngipik, tempat Supirah berasal. Dialog pun berjadi antara mereka.
“Mbah masih ingat rumahnya kan?,” tanya Supandi.
“Ingat, rumahnya ada sumur di depan dan pohon mangganya,” kata Mbah Supirah.
Mereka pun pelan-pelan mencari rumah yang ada sumur di depan dan pohon mangganya. Air mata Mbah Supirah tak kuasa menahan tangis. Karena berhasil Kembali ke kampung halamannya setelah 70 tahun kemudian. Lambat berjalan, rumah yang ada sumur dan pohon mangganya tak ketemu. Karena suasana sudah berubah.
Lalu Supandi pun membawa Supirah ke kantor Kelurahan Desa Ngipik. Sang Kepala Desa terkaget melihat Supirah. Karena dikiranya neneknya hidup Kembali. Ternyata Supirah memiliki kakak, yang Bernama Samirah.
Wajahnya sangat mirip. Samirah mirip sekali wajahnya dengan Supirah. Sang Kepala Desa itu langsung memeluk Supirah, karena dikiranya itu neneknya. Mereka saling tangis. Dan kemudian Supirah menceritakan kisahnya.
Lalu kemudian dibawa ke rumah keponakan Supirah, cucunya Samirah. Disanalah Tulungagung menjadi gempar. Karena Supirah berhasil Kembali ke Tulungagung setelah diculik di usia 14 tahun. Suasana haru biru pun menggelegar. Sanak keluarga Supirah di sana berkumpul.
Karena melihat Supirah masih hidup. Mereka menangis sejadi-jadinya. Karena tak menyangka takdir Tuhan berbicara lain. Tak menyangka Supirah yang hilang ternyata Kembali.
Bahkan teman Supirah dulu waktu diculik paksa, Sabrut pun terkaget. Dikiranya Supirah telah mati. Ternyata hidup Kembali dan berjumpa di usia 80 tahun. Mereka pun melepas kangen satu sama lain.
Kisah ini salah satu yang termuat di buku biografi Prof Supandi tersebut. Berjudul “Bocah Kebon Dari Deli.” Buku yang sangat menarik sekali untuk dibaca, karena penuh pesan sejarah yang sangat berguna bagi anak bangsa.