Jakarta, Aktual.com – Di dalam sebuah perjalanan bersama murid-muridnya, sidi Syekh Abdul Qadir Al Jaelani QS (wali Allah dengan maqom Quthub/tertinggi sepanjang masa) & para muridnya, berpapasan dengan seorang pemabuk yang sedang mabuk berat.
Tak disangka, pemabuk tersebut menghentikan langkah rombongan Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani dan mengutarakan tiga pertanyaan yang membuat beliau kaget.
“Wahai Syekh, apakah Allah mampu mengubah seorang pemabuk seperti diriku menjadi ahli ibadah dan taat?”
Syekh Abdul Qadir Al-Jalani menjawabnya :
“Tentu mampu, Allah Maha Kuasa”.
Kemudian si pemabuk bertanya lagi :
“Apakah Allah mampu mengubah ahli maksiat sepertiku menjadi ahli taat setingkat dirimu ?”
Dengan penuh kasih sayang Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani menjawabnya :
“Sangat Mampu, Allah Maha Kuasa Atas segala sesuatu.”
Si pemabuk bertanya kembali :
“Apakah Allah mampu mengubah dirimu menjadi ahli maksiat sepertiku?”
Mendengar pertanyaan ketiga, seketika itu Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani menangis tersungkur dan bersujud kepada Allah.
Murid-murid Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani pun penasaran dan kebingungan. Lalu mereka memberanikan diri untuk bertanya,
“Wahai Tuan Syekh, apa gerangan yang membuat mu menangis?”
Kemudian Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani menjawab pertanyaan muridnya dengan penuh perhatian dan hati tergetar :
“Betul sekali si pemabuk itu, pertanyaan terkahir yang menyebabkanku menangis karena takut kepada Allah. Kapan saja Allah mampu mengubah nasib seseorang termasuk diriku. Siapa yang bisa menjamin diriku bernasib baik, meninggal dalam keadaan husnul khotimah? Pertanyaan itu pula yang mendorongku untuk bersujud dan berdoa kepada Allah agar tidak menjadikanku merasa aman terhadap rencana Allah. Semoga Allah memelihara kesehatanku dan menutupi aibku.”
Pelajaran penting yang bisa dipetik dari kisah ini adalah agar kita tidak tertipu dengan kedudukan, amal perbuatan dan ilmu yang kita miliki.
Dan dari sini bisa kita fahami dan mengambil hikmah dari ibnu Athoillah di dalam kitab Hikam bagian pertama “agar kita tidak boleh bergantung kepada amal” karena sejatinya yang memampukan kita dan membuat kita mau berama itu adalah Allah SWT.
Dan salah satu ciri dari orang yang bergantung pada amal ini ialah ia akan merasa pesimis akan rahmat Allah Ketika kondisi diri yang lagi turun semanagat dalam beramal. Maha suci Dzat yang mampu mengubah sesorang kapan saja dia kehendaki. Hendaknya dalam sujud ketika shalat, senantiasalah kita berdoa “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu.”
Demikian kisah pertemuan Syekh Abdul Qadir dengan seorang pemabuk. Dimana sekelas beliau saja sangat khawatir dengan dirinya dan tidak pernah bangga dengan maqam kewaliannya.
Bagaimana dengan kita yang belum jelas kedudukannya di sisi Allah?
(Ahmad Himawan)
Artikel ini ditulis oleh:
A. Hilmi